Jaejoong – living like a dream

image

내가 기억해 너무 사랑했던
naega gieokhae neomu
saranghaetdeon
나의 여자라는 걸 기억해
naui yeojaraneun geol gieokhae
너만큼은 시간이 지나도
neomankeumeun sigani jinado
너의 숨결이 남아
neoui sumgyeori nama
널 간직하고 마치 나의 품에
neol ganjikhago machi naui pume
안겨있는 것처럼
angyeoinneun geotcheoreom
꿈일지도 몰라 너에게 줬던
kkumiljido molla neoege jwotdeon
얕은 상처가
yateun sangcheoga
내게 주는 깊은 벌일지도 몰라
naege juneun gipeun beoriljido
molla
미안해서 한참을 울어요
mianhaeseo hanchameul ureoyo
알 수 없는 곳에 마치 또 다른
al su eomneun gose machi tto
dareun
세상에 있어 날 추억에 버렸나요
sesange isseo nal chueoge
beoryeonnayo
옆에 있어도 넌 내게 없는 것처럼
yeope isseodo neon naege eomneun
geotcheoreom
니가 없는 곳에
niga eomneun gose
더는 머물러 있을 수 없어
deoneun meomulleo isseul su
eobseo
다른 사람마저 사랑하는 니가
dareun sarammajeo saranghaneun
niga
미워질까 한참을 울어요
miwojilkka hanchameul ureoyo
알 수 없는 곳에 마치 또 다른
al su eomneun gose machi tto
dareun
세상에 있어 다른 사랑을 하나요
sesange isseo dareun sarangeul
hanayo
내가 없어도 넌 행복해질 것처럼
naega eobseodo neon
haengbokhaejil geotcheoreom
어떤 공간에 있더라도
eotteon gonggane itdeorado
내겐 너 하나죠
naegen neo hanajyo
모두 변해도 너에게 떠나
modu byeonhaedo neoege tteona
나 네게 없어도 지금처럼
na nege eobseodo jigeumcheoreom
웃을 수 있나요
useul su innayo
이대론 살아도
idaeron sarado
난 살아 있지 않는 것처럼
nan sara itji annneun geotcheoreom
알 수 없어 너와
al su eobseo neowa

TRANSLATION
I remember that you’re my woman
who I really love..
I remember.. just you..
As time have passed, I treasure you
because your breathing remains the
same
It is as if you’re still in my arms
It might be a dream..
It might be the huge punishment
that you gave me against slight hurt
that I gave you..
I cry for a long time because I’m so
sorry
As you’re in the unknown place like
another world…
Do you leave me alone in the
memories?
Although you have a place next to
me, I haven’t you
I can’t stay the place anymore where
you’re not
I cry for a long time because other
person hates you who I love
As you’re in the unknown place like
another world…
Do you love another person?
As if you’re happy even without me
To me, you’re the only one although
I’m in another space…
even though everything is changed…
Even if I leave you….
Can you smile without me just like
now?
As it is, even I’m alive as if I’m not
alive
I don’t know.. With you…

Cr to the owner

Prestissimo #summerstory

*Ki Woong*
Semuanya berawal sejak musim semi kemarin. Saat aku menyelamatkan ponselnya dan menghajar si pencuri sampai babak belur. Lalu gadis itu mulai mengikutiku untuk mengucapkan terimakasih. Aku tidak pernah menggubrisnya. Untuk apa? Toh aku memang bukannya berniat menolong gadis itu, melainkan aku sedang ingin memukul. Malah, akulah yang seharusnya berterimakasih. Berkat ponselnya yang dicuri itu, aku bisa menghajar seseorang tanpa harus masuk penjara.
Suatu hari, dia datang ke kantin kampus dimana aku biasa menghabiskan waktu. Dia memberiku sebungkus kukis buatannya. Aku menyuruhnya meletakan kukis itu lalu pergi.

Ada sesuatu yang menggangguku setiap dia datang padaku untuk berterimakasih. Wajahnya. Wajah itu begitu lesu dan tak berjiwa. Aku tidak menyukainya. Matanya penuh akan keputusasaan seakan dia baru saja kehilangan sesuatu yang sangat dia cintai.
Dan aku tahu apa itu. Karena memang aku ada disana saat gadis itu ditolak mentah-mentah oleh seorang pria yang dia panggil Oppa.

Dan hari ini pun dia datang ke kantin. Aku tidak mengerti kenapa dia jadi sering menemuiku. Aku tidak mengharapkannya sama sekali.
“Hhh..” dia menghela nafas lelah lalu duduk di bangku disamping loket penukaran kupon makan siang. Aku meliriknya sejenak. Dia menggembungkan pipinya. Seperti biasa. Wajahnya lesu. Dia mengikat rambutnya tinggi-tinggi, menyingkirkan kepangnya. Dia memakai dres musim panas yang yang tipis. Hari ini memang pertengahan musim panas yang membara. Pekembangan fashionnya lumayan, dia sudah tidak lagi terlihat seperti gadis kampungan. Aku bertaruh pasti Soo Mi yang mengajarinya.
“Dia menyodorkan kupon makan siangnya padaku. Aku mengambilnya lalu memberinya nampan berisi menu makan siang hari ini untuk para peserta Summer class.
“trims.” Ucapnya sekilas. Lalu mulai menyendok nasinya dengan lesu.
“Hari ini lagi-lagi Oppa menawariku untuk berangkat bareng dengannya, tapi aku tidak mau. Aku tidak mau berada dalam jarak dekat dengannya.” Dia memulai cerita yang sama sekali tidak mau kudengar. Aku mendelik tidak suka.
“Sebenarnya aku sudah melupakannya. Sungguh, aku juga punya harga diri. Untuk apa aku tetap menyukai orang yang hanya menganggapku adik? Lagipula, aku bilang padanya kalau aku hanya bercanda soal perkataanku saat itu dan menyuruhnya melupakannya saja. Dan dia setuju.” Dia kembali membuka suara.
“Aku tidak tertarik dengan ceritamu. Tutup mulutmu.” Ucapku menghentikan curhatannya. Untunglah akhirnya dia diam, walau dengan bibir mengerucut.
Sayangnya semenit kemudian dia kembali berbicara.
“Sebenarnya, kenapa kau selalu datang ke kantin dan tidak belajar? Kalau untuk ke kantin saja, kau tidak usah daftar sebagai mahasiswa. Daftar saja sebagai pekerja.”
Aku lagi-lagi mendelik pada gadis Miryang ini.
“Aku juga tidak tertarik bercerita padamu.” Tukasku dengan suara pelan. Bosan.
“Kenapa kau selalu datang kesini sih?” kini aku bertanya heran sekaligus kesal.
“Karena tidak ada lagi tempat yang bisa kudatangi.” Jawabnya lesu.
“Kau bisa datang pada Soo Mi. Dia temanmu kan?”
“Dia terlalu cerewet. Dia akan mengomentari ceritaku sebelum aku menyelesaikan apa yang ingin kuceritakan…..” dia terlihat gemas pada temannya itu.
“Sementara kau, hanya akan diam dan mendengarkan. Aku hanya ingin keluh kesahku didengarkan. Tidak usah komentar.”
“Heh, aku tidak mendengarkan.” Tukasku tidak suka. Walau sayangnya aku memang mendengarkan. Bagaimana bisa aku tidak mendengar suara stereo gadis itu? Tidak mau pun suaranya tetap masuk ke gendang telingaku.
“Tak apa-apa, terkadang kau malah membutuhkan manusia tembok, ya seperti kau ini.” dia mengangguk bijak. Aku membelalak.
“Siapa yang kau bilang tembok?” aku memelototinya, namun sedetik kemudian aku kembali kewajah datarku. Untuk apa juga aku terpengaruh gadis labil seperti dia?
“Ahhh.. panas sekaliiii. Apa kita masih di korea atau sudah ke mesir sih?” dia mengeluh dengan kedua telapak tanganya mengusap keringat yang mengucur di dahinya.
“Seonbae, berikan aku patbingsu..” dia meminta padaku. Aku berjalan ke arah kulkas besar lalu mengambil segelas besar es kacang hitam, minuman favorit di musim panas itu lalu menaruhnya didepan dia. Dia segera menyeruput patbingsunya dengan kalap.
“Kau mau?” dia menawariku. Aku hanya mengernyit dengan jijik.
“Kenapa kau mengeryit seperti itu? Aku tidak punya penyakit menular kok!” dia menggerutu dengan alis menyatu.
“Aku tidak suka patbingsu.” Aku mengoreksi. Dia membulatkan matanya dan merekahkan hidungnya dengan ekstrim, seperti baru saja mendengar kalau ada manusia berkaki delapan di bumi ini.
“Yang benar sajaaaa?” dia kembali terbelalak. “Patbingsu kan—“ dia menghentikan ucapannya, aku mengalihkan pandanganku dari nampan di tanganku padanya. Wajah lesunya berubah tegang. Dengan bibirnya yang menipis.
Aku tahu itu artinya apa, Oppanya ada disana. dan benar saja. Tak berapa lama aku melihat seorang pria dengan wanita disampingnya mendekat ke arah kami untuk menukarkan kupon. Pria itu melihat Nam Chun lalu tersenyum lemah.
“Nam Chun, kau sedang makan?” tanyanya kikuk. Gadis itu hanya mengangguk sekilas. Terlihat sekali dia menahan diri untuk tidak lari. Atau bahkan menangis karena Oppanya bergandengan tangan dengan gadis lain.
“Kulihat kau sering berada di kantin ini, apa kantin departemenmu ada masalah?” pria itu kembali bertanya.
“Kenapa? Oppa tidak suka melihatku disini?” Gadis itu bertanya balik, terlihat sedih sekaligus malu.
“Ah bukan-bukan, maksudku, jarak departemenmu dan departemenku kan tidak dekat.” Pria itu kini tidak enak hati.
“Tidak apa-apa, lagi pula aku kesini untuk menemui Ki Woong Oppa-ku.” Gadis itu kembali membuka suara. Dan jawabannya barusan itu sukses dengan telak membuatku serasa sedang memuntahkan paku payung.
“Apa kau—“
“Ki  Woong Oppa, nanti kau janji akan membawaku ke lotte world kan? Aku pergi dulu ya. Sampai jumpa..” gadis itu menghentikan ucapaku, melambai sok manis lalu berlalu dari hadapanku dan pria itu yang masih menganga tidak percaya. Entah itu khayalanku saat melihat guratan tidak terima di mata pria itu
“Ng… ini.” akhirnya pria itu menyerahkan kuponnya. Aku meraih kuponnya dan memberinya makan siang.
“Mmm.. dia adikku, mmm… jagalah dia dengan baik.” Ucapnya lalu meninggalkanku yang hanya bisa menghela nafas.
Menjaga apanya?
***
Baru saja aku mengeluarkan motorku dari area parkir kampus, seseorang sudah menjegatku dengan wajah sedikit panik.
“Apa lagi?” aku mengernyit padanya.
“Kau harus membawaku dari sini. Oppa tidak suka padamu.” Ucapnya masih dengan wajah tidak tenang.
“Lalu apa urusannya denganku?” aku tambah mengernyit tidak mengerti.
“Aku kan tadi bilang kalau kau adalah ‘Oppaku’ pada Oppa. Kupikir dia tidak mengenalmu. Ternyata dia mencari info tentangmu, dia mengirimiku sms kalau aku tidak boleh dekat-dekat denganmu. Dia bilang kau mantan berandalan.” Gadis itu menjelaskan dengan berapi-api. “Cepat bawa aku, Oppa menungguku di depan gerbang depan. Aku tidak mau dekat-dekat dengannya.” Dia memaksaku lalu hendak naik ke boncengan motorku.
“Oppamu benar. Aku memang mantan berandalan. Cepat turun.” Aku mendorong bahunya agar menjauh dari motorku.
“Kan Cuma mantan.” Dia bersikeras, “sekarang sudah bukan kan? Aku lebih suka dengan berandalan daripada dengan oppa yang tidak membalas cintakuuu.” Dia memelas dengan wajah kecilnya. Lalu tanpa meminta persetujuanku dia langsung naik keboncengan motorku. Aku hanya menghela nafas, bosan berdebat.
***
*Nam Chun*
Aku bilang pada Hyung Jin kalau aku akan tetap pergi ke lotte world bersama Ki Woong. Aku juga bilang pada Ki Woong kalau kami ‘akan’ ke lotte world.
Tapi yang terjadi selanjutnya adalah aku dibawanya berkeliling mengantar Ramyeon keliling Seoul.
“Memangnya untuk apa aku mengorbankan kerja paruh waktuku hanya untuk mengantar orang yang tidak kukenal pergi ke lotte world?” tanyanya sarkastis padaku. Aku hanya memberengut. Iya juga sih, bagaimanapun, aku dan dia kan tidak (saling) akrab. Hanya aku seorang yang mengikutinya kesana-kemari hanya untuk berterimakasih sekaligus menceritakan keluh-kesahku. Selebihnya, kami tidak saling mengenal sama sekali.
Tapi seharian ini aku cukup senang. Setelah berbulan-bulan aku di Seoul, akhirnya aku bisa berkeliling juga. Walau hanya untuk mengantar pesanan mie.
Tapi untungnya, tadi dia membawaku ke jembatan sungai Han. Dia tidak mengatakan apapun, hanya merenung menatap air dibawah kami. Aku pun sama saja, pikiranku terus memutar cara agar aku bisa berhadapan dengan Hyung Jin tanpa kikuk dan tanpa sakit hati. Sulit.

Ki Woong mengatarku pulang setelah pekerjaannya selesai. Dan itu sudah pukul 11 malam. Tapi jujur saja berjam-jam diatas motornya rasanya menyenangkan dan waktu terbang begitu cepat.

Aku melihat Hyung Jin Oppa mondar-mandir didepan gebang rumah saat Ki woong dan aku sampai disana. Hyung Jin menghampiri kami yang berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri.
“Nam Chun-a, kenapa kau pulang malam sekali?” dia bertanya padaku, tapi tatapannya lurus tertuju pada Ki Woong.
“Aku.. kan sudah bilang akan pergi ke… lotte world bersama Ki woong. Ki Woong Oppa.” Aku meralat. Agar Hyung Jin percaya kalau aku dekat dengan Ki Woong.
“Hhh.. kau tidak baca Smsku tadi siang?” akhirnya dia menatapku tepat di manik mata.
Aku mengangguk kecil, tidak sanggup berkata-kata karena masih mencari arti dari tatapan Hyung Jin Oppa yang sepertinya sangat khawatir. Aku segera membuang muka saat sadar kalau itu adalah jenis kekhawatiran kakak terhadap adiknya.
“Masuklah ke rumah.” Perintah Hyung Jin.
“Aku masuk dulu, ya. Sampai jumpa bes—“ belum selesai aku pamitan pada Ki Woong, Hyung Jin sudah menarik tas selempangku lalu memasukanku ke rumah melewati gerbang. Lalu dia kembali keluar. Entah untuk apa.

*Hyung Jin*
Aku kembali keluar untuk memberi peringatan pada Ki Woong. Tadinya aku hanya mengenalnya sebagai penjaga kantin, sampai tadi kudengar ternyata dia bukan orang baik-baik. Dan dia membawa Nam-Chunku pergi.
Dia sedang menggunakan helmnya sampai aku tiba dihadapannya lalu menatapnya tajam. Dia balas menatapku. Datar. Bosan.
“Nam Chun-ku adalah gadis yang polos dan baik, dia tidak tahu pria seperti apa yang sedang dekat dengannya, jadi aku hanya bisa memperingatkanmu saja. Jangan macam-macam dengan Nam-chunku.” Aku memperingatkannya.
“Dia Nam Chun-ku.” Balasnya tak kalah tajam.
“Kau sudah membuangnya, sekarang dia Nam Chunku.” Ulangnya.
Membuatku dan dia sendiri tertegun dengan aliran darah super cepat.

***

PS. Prestissimo : tempo dalam partitur musik yang super cepat.

Adagio, the Saddest melody #autumnstory

Adagio

Hari yang penuh peluh dan sengatan sinar matahari itu sudah berakhir dengan gugurnya setangkai daun maple ke jalanan.
Aku menatap jalanan di depanku dengan pikiran penuh.
Hari ini Ki Woong akan mengajaku ke lotte world. Benar-benar ke lotte world. Dan tentu saja aku tidak mendapat ijin dari Hyung Jin. Sudah sejak setengah jam lalu Hyung Jin tak hentinya mengirimiku sms agar aku cepat pulang dan tidak kemana-mana. Apalagi bersama Ki Woong.

Hyung Jin sangat tidak menyukai Ki Woong. Dia bilang Ki Woong bukan pria baik-baik. Mantan berandalan, lah. Hyung Jin yakin Ki Woong masih bermain dengan berandalan-berandalan itu.

Hyung Jin benar, Ki Woong memang masih bergaul dengan para berandalan itu. Tapi dia tidak jahat. Dia bukan berandalan yang suka memukul orang tanpa alasan jelas. Ki Woong bersama berandal itu hanya untuk membuatnya kuat, tahan banting, dan bisa secara seimbang menghajar berandalan lain yang mengacau didepan matanya.

Aku tahu cerita ini dari Soo Mi dan dia tahu dari kakaknya yang menikah dengan almarhumah kakak Ki Woong. Ki Eun.

Empat tahun lalu Ki Woong dan Ki Eun sedang pergi ke pasar untuk membeli baju-baju calon bayi Ki Eun.
Dan saat Ki Eun dan Ki Woong berjalan pulang bergandengan tangan dipinggir jalan yang tak begitu ramai. Ki Woong melihat toko CD dan memutuskan untuk masuk kesana, membeli CD.
Ki Eun menunggu di luar, setengah jam kemudian Ki Woong keluar dari toko tersebut, dan mendapati kakaknya sedang mengejar seorang pencopet yang menjabret tasnya. Ki Woong segera ikut mengejar kakaknya dan pencopet itu, namun naas, disaat yang sama si pencopet melemparkan pisau dan tepat mengenai perut Ki Eun. Ki Eun meninggal saat dia dilarikan ke rumah sakit.

Saat mendengar cerita itu, aku ingat ekspresi Ki woong yang merah padam dan mengeras itu menghajar orang yang mencuri ponselku. Dia juga memarahiku yang dengan ceroboh malah mengejar seorang pencopet. Rupanya dia trauma.
Aku menceritakan hal itu pada Hyung Jin tapi dia tidak percaya. Dia tetap melarangku bergaul dengan Ki Woong. Aku tidak mengerti kenapa dia bisa begitu tuli!

Ki Woong tiba dihadapanku tak lama kemudian. Aku langsung naik ke boncengan motornya yang sempit. Dia tampak lumayan gagah dengan autumn coatnya yang tidak dikancing. Sementara aku memakai celana selutut dan mantel tipis berwana coklat maple karena musim gugur ini udara hangat tidak terlalu terasa di kulitku.
“Ki Woong-a. Kita sungguh akan ke lotte kan? Bukannya mengantar mie kan?” tanyaku serius.
“Iya kita ke lotte…” jawab Ki Woong pendek. Walau sudah berbulan-bulan kami selalu menempel, dia sama sekali belum merubah sikapnya padaku. Masih saja ‘sok’ tidak menganggapku ada.
Ah tapi, minggu kemarin dia bertanya kenapa aku tidak pernah memanggilnya Oppa seperti pada Hyung Jin? Aku langsung melongo mendengarnya. Setahuku dia tidak suka aku panggil Oppa, bahkan panggilan Seonbae saja ditolaknya.
Dia hanya menjawab, ‘mungkin aku sudah berubah pikiran sedikit.’ Membuatku semakin tidak habis pikir. Apa dia sudah mencair karena musim panas kemarin? Atau dia menyukaiku? HAHAHAHAHA tidak mungkin.

*Hyung Jin*
Aku tidak tahu ada apa denganku sebenarnya. Dan kemana ketenangan yang biasanya menemaniku dalam situasi apapun itu pergi?
Pikiranku seakan kalut kalau memikirkan Nam Chun yang sedang bersama Ki Woong beradalan itu.
“Hahhh.. kenapa dia harus berkencan dengan pria macam itu sih?” gusarku tak sadar tengah meremas sedotan ditanganku.

“Kenapa?” tanya orang disampingku.
“Ah ya?” aku nyaris lupa kalau aku juga sedang berkencan dengan Mi Yeon Nuna. “Tidak apa-apa Nuna..” dustaku.
“Kau menghawatirkan ‘adikmu’ itu kan?” Nuna menebak tepat sasaran. Aku tak sempat memperhatikan ekspresinya saat mengatakan itu, tapi bisa kulihat mata Nuna yang sayu.
“Ah tidak.” aku tersenyum kecil.
“Pergilah, selamatkan adikmu. Jangan sampai Ki Woong memakannya hidup-hidup.” Canda Nuna.
“Haha.. tidak usah..” aku menunduk untuk menyeruput milkshake milukku.
“Pergilah.. lagipula aku juga harus ke kampus sekarang.” Nuna tersenyum lembut.
“Benarkah? Tidak apa-apa?” tanyaku meyakinkan, dia hanya mengangguk kecil. Aku pun segera bangkit dan berjalan menjauh dari meja kami.
“Tapi kau tidak bisa kembali padaku kalau kau pergi..” sebuah gumaman terdengar dari belakang punggungku. Aku menoleh dengan kaget.
“Nuna?” aku bertanya shock. Dia hanya menggeleng dan mengatakan aku salah dengar.
Entah apa yang mendorongku hingga akhirnya aku sungguh-sungguh pergi dari caffe itu.

Aku sampai di lotte world setengah jam kemudian. Tak membuang waktu akupun langsung menghubungi Nam Chun dan bertanya apa dia sudah masuk atau belum ke lotte world. Dengan heran dia bilang kalau dia barusaja sampai di gerbang lotte. Bersamaan dengan aku yang sedetik lalu melihat seorang gadis memakai mantel tipis coklat. Gadis itu menoleh kesampingnya dan menemukanku disana dengan heran. Sementara pria yang ada disampingnya menatapku dengan bosan dan tidak terima.

“Oppa, kenapa kau ada disini kau menyusulku?” tanya Nam Chun dengan heran. Saat aku ingin menjawab, aku melihat sebuah tangan kurus tersampir di tangan Ki Woong.
“Nam Chun-a, ayo pulang. Akan kucarikan pria yang lebih baik darinya, bahkan dariku, tapi kau tidak boleh dengannya. Dia tidak pantas.” Ucapku tak terbendung. Nam Chun menatapku tambah heran.
“Oppa, sudahlah, Oppa tidak mengenalnya, dia orang baik kok.” Nam Chun menjawab keras kepala.
“Tetap saja, dia mantan berandalan, aku tidak mau adikku mendapat masalah dikemudian hari.”
“Kurasa, kau melarangnya bersamaku bukan karena aku berandalan. Tapi karena kau menyukainya.” Ucap Ki woong dingin. Membuat bukan hanya aku, tapi juga Nam Chun memucat.
Setelah beberapa detik yang beku, akhirnya aku mengeluarkan suara.
“Kalau itu bisa membuatmu dan dia menjauh, maka akan kujawab iya.”
“Oppa..” Nam Chun menatapku dengan bingung dan tak percaya.
“Nam Chun-a, ayo kita pergi. Apa yang dikatakannya ternyata benar, aku menyukaimu.” Akuku entah sadar atau tidak.
“Ayo..” aku mengulurkan tangan padanya.
Dengan ragu, Nam Chun akhirnya meraih tanganku.

*Nam Chun*

Aku meraih tangan Oppa. Dan dia langsung menarikku darisana. Meninggalkan Ki Woong sendiri.
Aku ingin berbalik dan melihat Ki Woong yang berdiri mematung, tapi aku tidak bisa, leherku kaku. Akhirnya aku hanya menunduk. Dan tidak sadar kalau airmataku meleleh banyak sekali.
Aku meremas dadaku yang terasa sangat sakit tak tertahan. Entah mengapa, pikiran bahwa aku meninggalkan Ki Woong begitu membuatku sakit hati hingga rasanya jantungku dicabut dari tempatnya. Rasanya teriris, membuatku tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Ditambah pikiranku terus memutar bayangan Ki Woong yang berdiri sendirian disana. Diantara manusia lain yang tidak dikenalnya.

Oppa menyerahkan helmnya padaku, dan saat itulah dia baru sadar kalau aku sedang menangis. Dengan khawatir dia bertanya kenapa aku menangis. Aku tidak bisa menjawabnya dan malah menangis semakin banyak.
“Nam Chun-a, kau kenapa? Jawab aku!” Oppa meremas pundakku dengan cemas.
“Oppa… kurasa.. kurasa.. aku tidak bisa meninggalkannya seperti itu… kurasa.. aku sudah membuatnya sangat sedih.” Jawabku akhirnya dengan suara kecil yang bergetar.
Aku menunduk dalam saat melihat Oppa menatapku dengan tatapan terluka. Lalu akhirnya dia tersenyum kecil yang kutahu pasti sama sekali bukan senyum bahagia.
Lalu Oppa memelukku sangat erat. Erat sekali. Seakan tidak mau aku pergi dari pelukan hangatnya.
“Tidak tahu sejak kapan, tapi, yang dikatakan Ki Woong tadi itu benar. Walau begitu kau sudah membuat pilihan, jadi pergilah.” Dengan berat hati Oppa melepaskan pelukannya dan mengusap kepalaku pelan. Masih tersenyum dengan wajah terluka.
“Pergilah..” ulangnya. Aku mengangguk lalu segera berbalik untuk menemui Ki Woong lagi.

*Ki Woong*

Bahkan sudah kuperkirakan ratusan kali. Sudah tahu kalau akhirnya memang akan seperti ini. Aku sungguh gila karena masih saja merasa ditampar dan dibuang. Merasa sakit hati dan tidak terima.
Dia melangkah semakin jauh dan akhirnya menghilang dibelokan. Bersamaan dengan menghilangnya sesuatu tak kasat mata dari hatiku dan hanya menyisakan rasa dingin menelusup disana. Walau jelas-jelas musim gugur ini cukup hangat.

Memangnya siapa aku ini? Hingga dengan bodoh aku masih berharap kalau gadis itu akan memilihku daripada pria yang sudah dia sukai sejak dulu??
Sialan! Apa aku memang menyukai gadis kampung itu?
Dengan langkah berat aku segera meninggalkan tempat ini. Menaiki motorku dan melajukannya dengan kecepatan penuh. Bahkan terlalu cepat untuk kulajukan di jalanan padat ini.
Lalu yang kudengar selanjutnya hanyalah bunyi jatuhan tubuhku diatas aspal.

*Nam Chun*
Aku duduk dibawah pohon maple yang menjatuhkan ratusan daunnya oleh tiupan angin kencang Miryang. Tepat disamping klinik hewan milikku dan seorang temanku.
Aku memeluk tubuhku sendiri yang merasa kedinginan. Padahal udara hari ini cukup hangat.
Sudah setahun aku kembali ke desa tenang ini. Dan sudah lima periode musim gugur sejak hari itu. Hari dimana aku kehilangan dua orang paling berharga dalam hidupku sekaligus.
Aku melepaskan Oppa..
Lalu… Ki Woong melepaskanku dan pergi sangat jauh.. ke tempat yang sama sekali tidak bisa kuraih.
Aku menggigit bibir bawahku, demi menahan desakan besar air yang ingin keluar dari mataku. Tidak boleh. Aku tidak boleh menangis.
Aku mengalihkan pandangan kesampingku. Dimana sebuah benda bulat berukuran sedang tergeletak begitu saja, dengan kabel earphone menempel disana.
Soo Mi yang memberikannya padaku. Dia bilang itu adalah benda kesayangan Ki Woong. Saking sayangnya bahkan Ki Woong tidak pernah mau membawa benda itu keluar dari kamarnya. sebuah pemutar CD portable hadiah natal terakhir dari Ki Eun.
Aku meraih earphone itu lalu menempelkannya di telingaku. Tak lupa segera menyalakan pemutar CD itu.
Sebuah alunan piano terdengar.
Dengan setitik airmata yang jatuh, aku tertawa kecil. Bagaimana bisa berandal seperti dia mendengarkan jenis musik klasik macam ini? Apalagi dengan tempo Adagio, melodi yang lembut dan penuh perasaan. Sakit dan teriris.

Ki Woong-a.. Apa perasaanmu saat itu juga seperti ini? Sakit.. dan teriris?

Geu Nal (That day)

Ayeah… This is just a little gift for you.. Kkkkkk enjoy it deros..

~~Geu Nal~~

Songfic from Apink – April 19th
Cast:
Lee Jinki
Choi Soomi

Pagi ini aku bangun sangat pagi. Dan aku bangun dengan seulas senyum lebar di bibirku. Mataku teralihkan pada sebuah kalender meja yang menunjukan deretan angka 1-30 tepat dibawah tulisan April.

Senyumku semakin lebar saat melihat sebuah tanggal yang sengaja kuberi tada hati dengan spidol merah muda. Tanggal 19.
Tepat di hari ini, setahun lalu. Aku bertemu dengannya. Dengan seorang pria aneh yang untuk pertama kalinya dalam hidupku, bisa membuatku jatuh hati.

Awalnya jujur saja aku tidak terima kalau ternyata orang seaneh dia malah bisa mencuri hatiku. Si aneh itu. Bisa-bisanya dia melakukan ini padaku.

Dan aku lebih aneh lagi karena sekarang malah aku yang sangat berterimakasih padanya. Berterimakasih karena telah datang kehidupku. Berterimakasih karena telah membuatku merasa menjadi wanita yang diinginkan. Terimakasih telah membuatku menyukaimu, mencintaimu. Terimakasih untuk segalanya.
Terimakasih untuk hari itu. Ya.. hari itu.

Pertengahan musim semi tahun lalu. Seperti semua remaja lain yang baru lulus sma, aku juga mempersiapkan diri untuk memulai kehidupan baruku di perkuliahan. Aku menyiapkan segalanya dengan baik. Buku-buku, informasi mengenai semua kegiatan yang akan kulakukan di kampus, bahkan denah kampusvpun sudah kupersiapkan dan kuhafal dengan matang di otakku. Termasuk perkiraan murid-murid darimana saja yang akan bersaing denganku di jurusan photografi.
Hanya ada satu hal yang tidak kupersiapkan. Yang tidak kuperkirakan; pertemuan dengannya di hari pertamaku kuliah.

Namanya Lee Jinki. Dia dua tingkat diatasku. Dia juga mengambil jurusan yang sama denganku. Tapi kurasa dia tidak belajar sebaik diriku. buktinya dia harus mengulang salah satu mata kuliahnya.
Dan di kelas itulah kami bertemu.
Saat itu semua murid di kelas itu sudah duduk tegak dan mendengarkan penjelasan doseb. Termasuk aku. Aku duduk di jajaran meja paling belakang. Bukan karena aku tidak berniat mendengarkan pelajaran dengan baik, hanya saja disinilah aku merasa nyaman. Walau dari jauh, aku tetap bisa menyerap pelajaran dengan sempurna. Dan disini, aku tidak akan terlalu tampak menyolok, hal yang sangat tidak kusukai.

Lalu kemudian, lima belas menit setelah kelas dimulai, seseorang menyelinap ke kelas kami. Tidak ada yang menyadari kedatangannya selain aku. Karena dia memilih duduk disampingku yang memang kosong.
Aku menoleh sekilas, dia tampak sedang mengelap keringat di dahinya, meyadari ada yang memperhatikan, dia juga menoleh padaku. Lalu melempar cengiran lebarnya padaku, seolah ingin aku tahu kalau dia memiliki sederetan gigi putih rapih. Aku segera mengalihkan pandangan kembali pada dosen, tanpa membalas cengirannya.
“Heh, kau tidak mau memberi salam? Aku senior lho.” Tiba-tiba dia berbisik dibalik bukunya yang terbalik. Aku membulatkan mata dengan kaget, kukira dia setingkat denganku, namun segera kututupi sebisa mungkin.
“Annyeong haseyo..” akhirnya aku menyapa, lebih karena tidak mau kehidupan perkuliahanku kedepannya menjadi rumit hanya karena tidak sopan pada senior.
“Annyeong.. siapa namamu?” dia bertanya masih dengan menutupi wajahnya dengan buku terbalik. Aku mengernyit tidak suka. Aku tidak suka berkenalan dengan orang yang sangat sangat asing. Terlebih dia kelihatannya banyak bicara.
“Hei, siapa namamu?” ulangnya setengah memaksa.
“Choi Soomi..” jawabku akhirnya, dengan ragu.
“Cham yeppeun ireumyo..” ujarnya sambil mengangguk beberapa kali.
“Namaku Lee Jinki.. aku tingkat tiga.” Dia memberitahu. Aku hanya mengangguk kecil lalu berusaha kembali fokus pada dosenku yang sepertinya beberapa kali melirik ke arahku dan Seonbae tidak jelas ini.
“Kau mau ini? Aku bekerja paruh waktu di Chiken N chikun.” Dia menyodorkan sebuah wadah bekal berisi ayam panggang kecap. Aku mengernyit.
“Tidak terimakasih..” ucapku yang kini sudah mulai mengeluarkan segelintir keringat gugup dari dahiku.
“Ah ayolah, ini enakkk. Kedai kami adalah kedai ayam paling lezat se korea. Bahkan sampai terkenal sampai mancanegara. Ayo makan.” Dia menyodorkan ayamnya lebih dekat denganku.
“Ti..tidak Seonbae, aku.. aku tidak mau ayam.. terima—“
“Chogiyo.” Seru sebuah suara dengan pengeras suara. “Chogiyo.” Ulangnya lagi. Aku menelan ludah dengan susah payah.
“Turunkan buku terbalikmu itu.” perintah suara itu, dosen kami.
Aku menggigit bibir bawahku hingga nyaris berdarah. Oh ayolah, ini hari pertamaku masuk mata kuliah ini. Jangan sampai aku juga kena damprat.
Kulihat Seonbae gila ini menurunkan bukunya, sial, dia malah nyengir lebar dan bukannya menunduk penuh rasa bersalah.
“Hhh.. sudah kukira itu pasti kau.” Dosenku menggeleng pasrah. “Jinki-ssi, tutup mulutmu dan jangan mengajak murid baru mengacau dikelasku. Dan kalian harus ikut aku setelah kelas selesai.” Pungkas dosen kami tegas. Aku rasanya ingin menangis. Apa-apaan ini?
Aku menunduk malu saat menyadari ternyata semua orang tengah melihat kearah kami.
Aku bersumpah besok akan duduk di bangku paling depan.
Sumpahku pada diri sendiri, semoga saja dengan begitu aku tidak akan apes sebangku dengan Seonbae gila ini.

Hari itu pukul 3 sore saat aku dan Jinki, si Seonbae gila, berjalan berdampingan dibelakang dosen Lee. Aku menunduk dalam karena beberapa orang yang kami lewati memperhatikanku dan Jinki. Tapi kurasa si Jinki itu sudah tidak punya urat malu, karena dia malah melenggang penuh percaya diri sambil bersiul macam burung gagak pengganggu.
Dosen Lee duduk di dibalik meja kerjanya. Aku masih menunduk dalam-dalam.
“Aku sudah pusing harus memberimu hukuman apalagi.” Desah dosen Lee.
“Ya Lee Jinki! Kalau kau sudah malas kuliah, sudahlah berhenti saja. Lebih baik kau terus bekerja di restoran ibumu saja!” kini dosen Lee meneriaki Jinki walau dengan suara kecil pasrah.
Aku juga pasrah menunggu giliranku.
“Abeojiii… maafkan aku. Eng.. Sekarang aku boleh pulang ya kan? Ya ya ya?” Jinki membuka suara. Dan apa yang dikatakannya nyaris saja membuat daguku jatuh ke lantai. Bukan hanya karena dia dengan tidak sopannya meminta pulang,tapi juga… Apa? Dia bilang apa?? Abeoji??.
Aku mengangkat wajahku dan menatap Jinki dengan mata melebar.
“Dasar kau anak sialann.” Dosen Lee melemparkan tempat tisyu dimejanya pada Jinki. Pria itu menangkap lemparan Dosen Lee dengan lihai, seolah dia sedang bermain baseball di lapangan.
“Abeoji! Jangan panggil aku anak sialan. Nanti kau juga jadi ayah sialan, dong.” Gerutu Jinki yang malah membuat dosen Lee semakin kesal.
“Dasar anak— hhh.. sudahlah, terserah kau sajalah, urus saja hidupmu semaumu, aku tidak mau tahu lagi.“ dosen Lee menghela nafas pasrah. Lalu dia menoleh padaku yang masih disorientasi diluar radar pembicaraan kedua orang ini.
“Kau.. Choi Soomi, kan?” tanya dosen Lee padaku. Aku mengangguk pelan. Sambil kembali menunduk.
“Kudengar kau murid dengan nilai sempurna saat penerimaan mahasiswa, benarkah?” tanyanya lagi.
“Ye..” jawabku singkat.
“Hei.. tidak usah menunduk, angkat saja wajahmu..” bisik Jinki ditelingaku. Demi Tuhan, aku ingin memukul wajahnya sok tahunya itu.
“Diam kau Lee Jinki.” Dosen Lee memperingatkan, tapi pemuda itu malah mengeluarkan siulan kecil sambil mengetuk-ketukan sepatunya.

“Kalian mengobrol di kelasku, tentu saja kalian akan mendapat hukuman.” Ujar dosen Lee mencoba bersikap tenang. Aku kembali menunduk. Baru jga masuk kuliah, sudah dapat hukuman.
“Hahh.. sudahlah, kalian pergi bersihkan halaman belakang saja.” dosen Lee tidak mau pusing-pusing lagi memikirkan hukuman kami.
“Dan, Choi Soomi-ssi, kau kan pintar dan juga teladan baik semasa sekolahmu, tolonglah kau ajari berandalan ini setidaknya untuk bersikap baik dan tutup mulut selama kelasku.” Tambah dosen lee yang sukses membuatku merasa sangat merana.
“Ye..” jawabku akhirnya karena melihat dia menunungguku menjawab. Lalu aku, dan Jinki keluar dari ruangan itu.
“Hhhh… ini gilaa..” desahku begitu pintu dibelakang kami ditutup Jinki. Wajahku sudah memerah menahan tangis. Aku tidak pernah dihukum seumur hidupku. Aku murid teladan. Dimana pun aku berada, di organisasi macam apapun aku bergabung, aku selalu menjadi teladan dan tidak penah dapat hukuman atau sanksi.
Tapi hanya karena sial dan berbagi meja dengan dia…
Aku menoleh ke kiriku, dimana pemuda berkaos putih itu berdiri dengan santai. Aku ingin memarahinya dan memaki, tapi… mana bisaa?? Pertama, karena dia adalah seniorku, aku tidak mau mencari masalah tambahan di hari pertamaku disini. Kedua, Seonbae gila ini ternyata anak dosenku sendiri. Yang sialnya baru saja menyuruhku untuk mengajarkan sopan santun pada anaknya.
‘Aku ingin matiiiiiii..’ rengekku dalam hati.
“Kau tidak mau pulang?” tanya Jinki dengan mata segarisnya yang berusha melebar.
Aku menahan diri agar tidak menjawab dengan suara melengking penuh emosi tak terkontrol.
Tanpa menjawab aku langsung berjalan ke koridor sebelah kanan, arah yang menuju halaman belakang kampus.
“Hei. Untuk apa kau kesana?” Jinki setengah berteriak dibelakangku.
Dia bodoh atau apa?
“Hei, kita tidak usah melakukan apapun, tidak usah membersihkan halaman…” dia menahan pergelangan tanganku.
“Seonbae tidak dengar? Tadi Pak Lee menguruh kita bersihkan halaman belakang.” Jawabku tidak bisa percaya.
“Akh..” dia mengibaskan tangannya di udara, seolah sedang menghalau lalat yang mengganggu pemandangannya, “ayolah… kampus ini punya tiga pengurus kebun, kedatangan kita kesana tidak akan mempengaruhi apapun. Kita pulang saja…” dia hendak menarik lenganku.
“Tidak bisa, aku tidak mau dapat hukuman yang lebih berat nantinya.” Aku menolak mentah-mentah.
“Kau keras kepala juga ya..” dia malah kembali menebarkan cengiran lebarnya. Membuat matanya semakin menyipit hingga tak terlihat lagi bola mata didalamnya.
“Jinki-a!” teriak seseorang. Kami sama-sama menoleh ke asal suara. Seorang pria berbadan besar dengan pakaian tanpa lengan berjalan ke arah kami. Aku seakan mengerut saat dia sudah ada dihadapanku dan Jinki. Kalau orang ini juga mahasiswa, kurasa dia sudah tinggal kelas selama beberapa generasi.
“Ada apa??” tanya pria besar itu.
“Aku mengajaknya pulang bersama tapi dia tidak mau.” Jawab Jinki sambil sok merengut. Aku menggigit bibir karena gara-gara Jinki menujukku, pria besar itu kini juga menoleh padaku dengan wajah datar yang bagiku terlihat sedang mengacam.
“Kau tidak mau pulang dengan Jinki kami?” tanya pria besar itu padaku. Yang walau sebenarnya diucapkan biasa-biasa saja tetap terdengar penuh ancaman.
Aku ingin menjawab tapi suaraku hilang ditelan udara.
“Kau mau kan? Pulang sekarang?” kini Jinki yang mengambil alih pertanyaan, dia tersenyum sangat lebar, memperlihatkan gusinya yang merah muda. Aku hanya mengangguk pasrah.

Jinki mengajakku pulang dengan motornya. Aku naik dengan terpaksa. Aku masih menunduk karena pria besar itu juga ikut bersama kami ke parkiran, dia memakai motor besar berwarna hitam mengilat.
“Bong Jun-ah, dia tidak mau memeluk pinggangku, padahal aku akan ngebut.” Ujar Jinki pada si pria besar. Pria itu menoleh padaku. Sebelum dia mengatakan apapun, aku segera memeluk pinggang Jinki, lagi-lagi terpaksa.

Hari sudah berangsur petang. Matahari di ufuk barat sudah mulai bersembunyi diam-diam. Meninggalkan warna jingga pudar di tiap kelopak bunga ceri yang mekar dan berjatuhan dipinggir jalan.
Jinki tidak membawaku ke rumahku, padahal aku sudah bilang aku tinggal di perumahan Myeongro Gil.
Dia malah membawaku kesebuah kedai ayam. Aku membaca banner kedai itu. Chiken N Chikun.
“Ayo turun..” ajak Jinki. Aku hanya menurut.
“Ya Jinki-a. Kau membuat masalah lagi dengan Ayahmu hah?” sembur seseorang begitu kami memasuki kedai itu. Seorang wanita setengah baya dengan celemek kuning berdiri dibalik mesin kasir sambil menghitung uang.
“Eomma, aku lapar..” Jinki berujar pada wanita itu.
“Ambillah saja makananmu sendiri. Bong Jun-a ayam panggang kita sudah habis. Cepat kau buat lagi, ya?” perintah wanita itu pada pria besar.
“Baik nyonyaaaa.” Seru Bong Jun dengan seringai ceria yang lebar. Aku nyaris tersedak ludahku sendiri.
“Dia koki handal di kedai ini. Lihat saja badannya yang bongsor. Tadi dia menyusulku karena aku memintanya. Untuk mengancammu.” Jinki berbisik ditelingaku. Aku membulatkan mata tidak percaya.
“Mengancamku?” tanyaku tidak percaya, dan tidak mengeti, “untuk apa?”
“Untuk memaksamu ikut denganku.” Jawab Jinki singkat, kembali menebarkan senyuman lebarnya. Aku menganga lebar.
“Omoooo… kau datang dengan seorang gadis??” seru wanita paruh baya yang dipanggil Eomma oleh jinki itu baru menyadari kehadiranku karena daritadi terhalangi oleh Bong Jun yang besaarr.
“Amona… cantik sekalii.” Wanita itu menghampiri. Kedai memang sedang tidak ada pengungjung, jadi mungkin dia merasa bebas walau berteriak-teriak seperti ini.
“Annyeong hasimnikka..” sapaku sambil membungkuk 90 derajat.
“Ah… kau cantik dan sangat penuh hormat. Panggil aku Eomoni yaa?” pinta wanita itu dengan semangat. Aku hanya bisa mengangguk.
“Eomma, bawakan kami ayam yang enak ya?” Pinta Jinki sambil menarikku ke meja yang paling dekat dengan kami.
“BONG JUN-AAA… bawakan ayam paling enak di kedai kitaaa..” teriak Eomoni ke arah dapur.
Aku merasa sangat kikuk diperlakukan ‘seakrab’ ini oleh orang-orang asing.
“Kau dengar kan? Ibuku bilang kau cantik. Aku dan ibuku memang memiliki selera tinggi yang sama.” ujar Jinki padaku. Entah untuk alasan apa, aku merasa pipiku memanas seperti terbakar. Mungkin karena selama ini tidak ada yang mengatakan kalau aku cantik. Semua orang selalu menyebutku si pintar, si rajin, si disiplin dan hal-hal seperti itu. Tidak pernah ada satupun yang mengatakan aku cantik, sekalipun saat aku berdandan di pesta perpisahan sekolah.
“Kalian sejak kapan kenalan? Kenapa baru dibawa kesini sekarang sih?” Eomoni yang tiba-tiba saja sudah duduk di meja kami bertanya dengan semangat.
“Namanya Choi Soomi. Dia angkatan baru di kampusku Eomma.. aku baru saja mendapatkannya.” Jawaban Jinki sontak saja membuatku tersedak ludahku sendiri. ‘mendapatkan?’
“Woaa… baru pertama kali bertemu tapi kau sudah langsung mendapatkannya?” Emoni tampak takjub pada anakknya sendiri. Aku ingin menyangkal dan meluruskan segalanya, tapi suaraku tertutup oleh keseruan ibu dan anak ini yang dengan tidak sopan membicarakanku didepanku sendiri seolah aku tidak ada.
“Iya Eomma, saat aku masuk kelas, aku melihat dibangku belakang ada seseorang yang terlihat sangat bersinar, aku langsung duduk disampingnya. Sayangnya, dia tidak menanggapiku dengan baik, dia bahkan sepertinya kesal karena aku membuatnya dihukum Abeoji.” Ujar Jinki panjang lebar. Eomoni langsung mengalihkan pandangannya padaku.
“Aigoooo… Soomi-a… maafkan Jinki babo ini ya.. pasti sangat sulit untukmu bersamanya. Tapi jangan menyerah ya. Walau aneh dan kadang seenaknya, dia itu anak yang baik lho.” Eomoni menggenggam kedua tanganku dengan mata berbinar-binar. Aku hanya mengangguk dengan ragu. Tidak mau membuat wanita ini kecewa kalau aku menggeleng.
“Kalau dia macam-macam atau menyakiti perasaanmu, aku memberimu ijin untuk memukulnya atau bahkan melemparnya ke selat korea, jangan segan-segan menghukumya ya?” Eomoni kembali membuka suara.
“Ne..” aku menjawab singkat.
“Aku tidak akan menyakitinya Eomma..” Jinki membela diri. Aku menoleh dengan prustasi padanya.
‘Menyakiti apanyaaa???’
“Ah yasudahlah, aku kebelakang dulu, Aigu Bong Jun-aaaa. Mana ayam panggangnyaa??” Eomoni meninggalkan kami berdua.
Dan anehnya hal itu malah membuatku canggung didepan Jinki. Sunbae super gila dan aneh ini.
“Soomi-a, kau pasti kaget ya?” tanya Jinki sambil menyimpan dagunya ditelapak tangannya.
“Kaget apanya..”
“Aku tiba-tiba membawamu kesini dan mengatakan kalau aku mendapatkanmu. Tapi kuharap, kau akan terbiasa dengan kehadiranku mulai dari hari ini.” Jinki melanjutkan ucapannya. Aku hanya bisa diam, sibuk mencerna.
“Suatu saat, kau juga akan mendapatkanku kan?” dia bertanya sambil menatapku lekat, membuatku merasa sangat mati gaya.
“AHAHAHAHA…. tentu saja kau akan mendapatkanku. Mana ada wanita yang tidak terpesona dengan ketampanankuuu?” Jinki nyengir lebar. Dan sialnya cengiran lebar itu perlahan-lahan membuatku sangat nyaman.
Hanya saja, aku masih tidak mengerti dengan konsep mendapatkan dan didapatkan yang dianut pemuda ini. Tapi sudahlah, orang seaneh ini, kurasa tidak akan bisa dimengerti hanya dengan satu kali pertemuan.

“AKU PULANGGG…” sebuah teriakan menginterupsiku yang sedang berpikir keras.
“YA Lee Wooni! Ini kedai bukan rumah. Datanglah tanpa bersuara.” Dengus Jinki dengan alis menyernyit.
“Seperti kau tidak pernah membuat suara saja.” tukas seorang gadis dengan baju seragam sma biru tua. Dia melempar tas besarnya ke kursi dimana tadi Eomoni duduk.
“Hahhh aku lelah—Omo Omo!!” dia memekik histeris saat menyadari kehadiranku.
“Kau siapa?” tanyanya dengan mata sipit serupa Jinki yang melebar ekstra.
“Cerewet, Kau tidak perlu tahu. Pergi ke dapur sana.” Jinki mendorong kursi gadis itu agar menjauh.
“Ah maja! Kau pacar Oppa gila ini?” gadis yang dipanggil Wooni itu menunjuk Jinki dengan ngeri.
Belum sempat aku menggeleng, dia sudah lebih dulu menutup mata dan menepuk jidatnya seolah mendapat kabar kalau gunung puji dipindahkan ke Seoul.
“Oppa, akhirnya kau mengakhiri kejombloan abadimu itu.” Ujar Wooni sambil menempelkan kedua tangannya seolah sedang berdoa.
“Tapi, Eonni,” dia menoleh lagi padaku. “Kau harus sabar ya menghadapi orang ini. Dia memiliki kepribadian aneh yang sangat diluar batas kewajaran.”
“YA! Pergi kau dari sini.” Jinki berdiri lalu menarik bagian belakang kerah baju wooni dan menariknya ke arah pintu dapur. Lalu kembali lagi kedapanku setelah berhasil menyingkirkan gadis malang itu.
“Maaf ya Soomi, dia memang adikku, tapi dia tidak mirip siapapun, dia sedikit gila.” Ucap Jinki tanpa terlihat merasa bersalah sama sekali, entah padaku, ataupun pada Wooni adiknya.
‘Seolah kau tidak gila saja.’ ucapku dalam hati.
“Mwo??” Jinki melotot ke arahku. Aku meutup mulut, ternyata aku benar-benar mengucapkannya dengan mulutku sendiri.
“Yaa….” pemuda itu memijit pundaknya.
“Akhirnya kau mengeluarkan suara hatimu juga… aku senang Soomi-a.. teruslah bersikap terbuka padaku, katakan apapun yang ingin kau katakan, itu artinya kau sudah siap mendapatkanku.” Ucap Jinki serius sambil menggenggam kedua tanganku. Tapi itu malah membuatku ingin tertawa terpingkal-pingkal.
~~~~~~~~~~~
Setelah mandi, aku segera melesat ke dapur. Sekarang sudah pukul 9 pagi. Dan Jinki akan datang sejam lagi. Aku tidak mau membuatnya menunggu.
Kuputuskan untuk membuat ayam goreng saja agar ringkas, lalu membuat kimbab isi kimchi buatan Eomma. Lalu memasukannya ke kotak bekal. Kami merencanakan untuk pergi piknik ke taman rahasia belakang kampus.
Sejam kemudian Jinki datang. Aku mempersilakannya masuk.
“Oppa, aku belum memasukan minumannya, tunggu sebentar ya.” Ucapku sambil kembali berlari ke dapur sementara Jinki duduk dengan nyaman di sofa lalu menyalakan tivi.
Setelah selesai dengan perbekalan kami, aku mengahampiri Jinki.
“Soomi-a..” panggil Jinki yang sedang melongok ke luar jendela.
“Ne?” aku meletakan perbekalan kami lalu berjalan ke arah Jinki.
“Masalah besar.” ucap Jinki saat aku melihat jutaan air menjatuhi bumi dengan derasnya.
“Bagaimana ini??” tanyaku panik sambil mencengkeram lengan kemeja Jinki.
“Bagaimana lagi?”
Dasar orang aneh ini, di keadaan seperti ini saja dia masih bisa nyengir lebar dengan bahagia seperti itu.
“Kita piknik disana saja.” Jinki menunjuk sofa ruang tamu rumahku. Aku memberengut. Mana ada?
“Bagaimana lagi… yang penting kita tetap berdua. Orang tuamu sedang pergi keluar kan?”
“Eo.. mereka sedang mengunjungi kakekku.”
Jinki menarikku untuk duduk di sofa.
“Lagipula aku sedang malas mengendarai motor.” Ucapnya dengan girang.
“Kenapa?” aku bertanya heran.
“Aku lupa mengisi bensin. HAHAHAHAA…” dia meledak dalam tawa. Aku hanya mendengus bosan.
Jinki meletakan kepalanya di pahaku. Lalu menutup mata. Aku mengusapi dahinya yang terang benderang karena memantulkan cahaya lampu tepat diatas kepala kami.
Aku mendengar deru nafasnya yang tenang. Kurasa Jinki memang sedang lelah dan bukannya belum beli bensin. Karena sudah sebulan ini kedai keluarganya sedang naik daun. Jinki sibuk mengantar makanan kesana kemari.
“Oppa..?” aku bertanya saat jinki mengerjap setelah tidur setengah jam saja.
“Mmh?” dia bergumam kecil dengan suara yang sedikit serak bangun tidur.
“Saat itu, hari itu. Kenapa Kau langsung membawaku ke kedai dan bilang kau sudah mendapatkanku?” tanyaku akhirnya setelah setahun ini hanya menggumamkannya dalam hati.
“Eh? Kenapa tiba-tiba bertanya hal itu?”
“Keunyang..” aku mengangkat bahu sedikit.
“Itu rahasiaku. Kau tidak usah tahu. Hahahaha..” dia malah mempermainkanku. Aku hanya diam saja, tidak mau memaksa.
“Aku hanya sudah jatuh cinta padamu pada padangan pertama. Itu saja..” Jinki Akhirnya menjawab. Membuatku serasa terbakar karena malu.
“Ah sudah hentikan.” Tukasku malu.
“Kau kan yang bertanya.” Jinki mengeluarkan jurus mehrong yang jarang dia lakukan. Lalu kembali tertidur dipangkuanku.
Dalam hati aku berdoa pada Tuhan, agar aku bisa selamanya melihat Jinki yang tertidur di pangkuanku.
Agar aku bisa selamanya merayakan 19 April kami bersamanya, Lee Jinki yang paling kusayangi.
Musim semiku, Lee Jinki…

EPILOG
*Jinki*
Aku baru saja keluar dari ruangan BP. Apa-apan sekolah ini? Baru juga tidak sengaja tertidur di kelas, aku sudah dihukum membersihkan toilet. Sungguh tidak bisa dipercaya.
Set
Aku menghentikan langkahku saat melihat seseorang berjalan kearahku dengan wajah tertunduk.
Ah, dia, anak kelas 7 malang yang selalu dibully karena terlalu pintar dan sok menaati peraturan itu.
Tanpa sadar aku mengikutinya dari belakang. Seperti biasa, gadis itu akan duduk dibawah pohon bunga ceri di taman samping sekolah. Gadis itu akan tertidur setelah puas membaca buku besar yang entah apa judulnya itu.
Benar saja, buku ditangannya terjatuh dan matanya tertutup perlahan.
Aku menghampirinya dengan tanpa suara.
Jujur saja, bagiku, anak ini cantik. Wajahnya bulat dengan mata yang juga bulat bening. Dia memiliki gigi-gigi kecil yang manis. Kudengar dia murid teladan diantara kelas 7 lainnya.

Aku berjongkok disamping anak itu. meneliti wajahnya yang memiliki garis bekas air mata di sepanjang pipinya. Hasil dari bully-an teman-temannya.
Bagaimana bisa anak secantik dan sebaik ini diperlakukan seperti itu?
Aku tahu dia baik karena sudah berkali-kali aku melihatnya membantu Kim Ajumma membawa belanjaan untuk makan siang kami di kantin. Anak lain malah melewati mereka berdua tanpa kata sama sekali.
Dia berbeda.
Aku menoleh keatas saat merasakan benda-benada ringan berjatuhan ke pundakku. Beberapa juga jatuh di kepala dan pundak anak ini.
Aku menaikan tangan untuk mengingkirkan kelopak-kelopak merah muda dari pundaknya saat gadis itu mengerjapkan matanya. Aku melompat dan pergi darisana secepat kilat. Entah untuk alasan apa tidak mau dia mengetahui keberadaanku.

A Pink – april 19th

image

ROMANIZATION
ttaseuhan bomnal mude wiro ollatjyo
josimseuron moseup tto-oreuneyo
geunarijyo uri choeumeuro
mannatdon geu nal
ajikdo itji mot-he
orobuteun uril utge hejun no (baro
na tto baro no)
iroke onjena issojulleyo (jikyojulgeyo)
My love tto sijagiya uriga hamkke hal
sigan
ije do boyojulge badeun sarangboda
do
jigeumeun himdeulgo jogeum
bujokhedo gwenchana
noye geu ttaseuhan maeumman
isseumyon chungbunhe geugomyon
dwe
deullyowatjyo himi dwejun moksori
gaseumsoge urin segyonoatjyo
ojik hana jul su inneun-goni
noreppuninde
nomuna gomawoyo
himdeun sigan hamkke
gyondyowatdon no (baro na tto baro
no)
ijeneun nega nol jikyojulgeyo (himi
dwelgeyo)
My love tto sijagiya uriga hamkke hal
sigan
ije do boyojulge badeun sarangboda
do
jigeumeun himdeulgo jogeum
bujokhedo gwenchana
noye geu ttaseuhan maeumman
isseumyon chungbunhe geugomyon
dwe
sigani jongmal ppalli heullotjyo
bolsso ilnyoniran gin sigani
geudongan motdahan maldeul
ijeneun jonhalgeyo
gomawo tto gamsahe iroke gobekhe
nol saranghandago
My love tto sijagiya uriga hamkke hal
sigan
ije do boyojulge badeun sarangboda
do
jigeumeun himdeulgo jogeum
bujokhedo gwenchana
noye geu ttaseuhan maeumman
isseumyon chungbunhe (I will stay
with you) geugomyon dwe
My love ne du nuneul bwa nowana
hamkke hanikka
jolde nol nochi ana isesangi
kkeutnado
amumarobsido geunyang yope
issojumyon dwe
ttaseuhan sarang nomuna gomawo
geugomyon dwe
ENGLISH TRANSLATION
Went up the stage of a warm spring
day
I remember my cautious self
It was that day, the day we first met
I still can’t forget
You made us laugh, who were frozen
(it’s me, and it’s you)
Will you be here like this always (I
will protect you)
My love, it’s a beginning again, the
time for us to be together
I will show you more, more than the
love that I’ve received
It’s okay even if it’s a little hard and
imperfect right now
Your warm heart is enough, that’s
all I need
I could hear it, the voice that
cheered me up
We have engraved it in our hearts
The only thing that I can give you is
this song
Thank you so much
You endured my rough times
together (it’s you, it’s me)
I will protect you now (will cheer
you up)
My love, it’s a beginning again, the
time for us to be together
I will show you more, more than the
love that I’ve received
It’s okay even if it’s a little hard and
imperfect right now
Your warm heart is enough, that’s
all I need
Time flew by really fast
Already a year had passed
I will tell you everything that I
wasn’t able to before
Thank you and thank you, I confess
to you now that I love you
My love, it’s a beginning again, the
time for us to be together
I will show you more, more than the
love that I’ve received
It’s okay even if it’s a little hard and
imperfect right now
Your warm heart is enough, that’s
all I need
My love, look into my eyes, cause
we’re gonna be together
I will never let you go, even if this
world ends
Even if you don’t say a word, just be
next to me
Your warm heart is enough, that’s
all I need

Cr to the owner

B1A4 – Lonely

English Translation:
Lonely lonely lonely lonely lonely
lonely
Lonely lonely lonely lonely lonely
lonely
Lonely lonely lonely lonely lonely
lonely
Lonely lonely lonely lonely boy
Lonely lonely lonely lonely lonely
lonely
Lonely lonely lonely lonely lonely
lonely
Lonely lonely lonely lonely lonely
lonely
Lonely lonely lonely lonely boy
The necktie and white shirt you
bought me
The pants that I haven’t worn for a
short while
I wear it by myself and lalala
I feel good by myself lalala
The old sticker pictures that I took
out again
The pictures where you and I are
happily smiling
I look at them by myself and lalala
I feel good by myself lalala
Why am I still, why am I still here,
why am I still like this?
I’ll call you again baby, no
I’ll be better so you won’t cry
I miss you so much
Your eyes, you nose, your lips
I try to eat with you but you’re not
here
I try to watch a movie with you but
you’re not here
We have nothing, we really have
nothing
Every day every say
I walk on this street again with you
If only I can walk with you again
If only we can walk together again
(I’d like it)
The song you always played for me
Now it’s the song that I play for you
I listen to it by myself and lalala
I feel good by myself lalala
I walk on this street without you, I
get in the car without you
I run away and run away but in the
end, I’m a fool blind for you
It feels like no one is looking for me
It feels like your brightly shining
heart is already closed (hey)
I try to eat with you but you’re not
here
I try to watch a movie with you but
you’re not here
We have nothing, we really have
nothing
Every day every say
I walk on this street again with you
If only I can walk with you again
If only we can walk together again
Why am I still, why am I still here,
why am I still like this?
My memories scatter like smoke,
you’re right girl
It hurts a lot, sick my heart
The break up that I thought would
never come to us
It came to me secretly and it so
easily made love silently leave me
I try to go back but you’re not there
No matter how much I call you,
you’re not there
We have nothing, we really have
nothing
Every day every say
I walk on this street again with you
If only I can walk with you again
If only we can walk together again
Baby I just wanna spend some time
with you
Baby I just wanna spend some time
with you
Baby I just wanna spend some time
with you
Baby I just wanna spend some time
with you

Romanized:
(with individual parts)
[All] Lonely lonely lonely lonely
lonely lonely
Lonely lonely lonely lonely lonely
lonely
Lonely lonely lonely lonely lonely
lonely
Lonely lonely lonely lonely boy
[All] Lonely lonely lonely lonely
lonely lonely
Lonely lonely lonely lonely lonely
lonely
Lonely lonely lonely lonely lonely
lonely
Lonely lonely lonely lonely boy
[Jinyoung] Nega sajun nektaie
hwaiteusyeocheu
Jogeum jageun han dongan an
ipdeon paencheu
Honja ipgoseo nan lallalla honja
johaseo nan lallalla
[CNU] Dasi kkeonaen manhi nalgeun
seutikeo sajin
Yejeon neowa naega haengbokhae
utneun sajin
Honja bogoseo nan lallalla honja
johaseo nan lallalla
[Gongchan] Ajik nan wae yeojeonhi
wae yeogiseo wae ireoneunji
[Baro] Naega dasi jeonhwahalge
jagiya no
Naega jalhalge deo na ttaemune ulji
antorok
Na neomu geuriwo
Ne nun, ne ko, ne ipsul
[Jinyoung] Hamkke babeul
meogeuryeo haedo nega eopguna
Gachi yeonghwal boryeogo haedo
nega eopguna
Urin amugeotdo eopguna jeongmal
amugeotdo eopguna
[Sandeul] Everyday every say neowa
hamkke georireul
Geotneunda geotneunda dasi
hamkke geotneundamyeon
Uri hamkke geotneundamyeon ([Baro]
joketda)
[Jinyoung] Nega naege hangsang
deullyeojwotdeon norae
Ijen naega nege deullyeojuneun
norae
Honja deutgoseo nan lallalla honja
johaseo nan lallalla
[Baro] Nega eomneun georireul
georeobogo nega eomneun chareul
tago
Daranago daranado gyeolguk nege
nuni meon babo
Nal chatneun sarameun eomneun
deut hae hwaljjak bichi nadeon
Ne mamui changdeuldo imi dachin
deut hae (hey)
[CNU] Hamkke babeul meogeuryeo
haedo nega eopguna gachi
Yeonghwal boryeogo haedo nega
eopguna
Urin amugeotdo eopguna jeongmal
amugeotdo eopguna
[Sandeul] Everyday every say neowa
hamkke georireul
Geotneunda geotneunda dasi
hamkke geotneundamyeon
Uri hamkke geotneundamyeon
[Jinyoung] Ajik nan wae yeojeonhi
wae yeogiseo wae ireoneunji
[Gongchan] Yeongicheoreom
heutnallineun gieok you’re right girl
Naneun manhi apa sick my heart
[CNU] Uriege jeoldae eobseul geo
radeon ibyeol
Mollae nal chajawatdaga
[Sandeul] Ireoke neomu swipge
Sarangeun sori eobsi nareul tteona
[Jinyoung] Dasi doragaryeogo haedo
nega eopguna
Amuri bulleo bwado ije nega
eopguna
Urin amugeotdo eopguna jeongmal
amugeotdo eopguna
[Sandeul] Everyday every say neowa
hamkke georireul
Geotneunda geotneunda dasi
hamkke geotneundamyeon
Uri hamkke geotneundamyeon
[Jinyoung] Baby I just wanna spend
some time with you
Baby I just wanna spend some time
with you
[CNU] Baby I just wanna spend some
time with you
Baby I just wanna spend some time
with you

Cr to the owner

Taeyang – wedding dress

“Wedding Dress”
Some say it ain’t over till it’s over
But I guess it’s really over now
There’s something I gotta say before
I let you go
Listen…
Can’t believe what’s goin’ on
Gotta keep my cool, be calm
When I heard you and he was
screamin’ out of control
All I can think about is “No, no,
no… he won’t
hurt the one I’ve cared for so long,
long… Hell, no.”
I know we’re done, and now it’s
none of my concern but how
can two be windin’ out from only
weeks in goin’ out
Just makes me feel that what we had
was real
Could it be or is it too late? (Oh, oh
baby)
[Chorus]
Baby!
Listen to your heart, won’t let you
down
Cause you should be my Lady!
Now that we’re apart love will show
how
Life carries on…
I’ve never felt so strong
Life can lead us to a happiness
never ending
If we just know that we belong to
each other
Never worry, grow as we go
See you in your wedding dress
I can see you in your wedding dress
I see you walking down in your …
(wedding dress)
I can see you in your wedding dress
(Oh, yea~)
I was never perfect no
But I’d never let it go to a point I’m
ragin’, throwin’ making you
uncomfortable
What he didn’t, did to you was
unacceptable
You claimed everything was okay.
That’s impossible
Just know I’m here for you
All clear for you from night to sun
God, I’ve been near to you, the feel
of you gives me a rush
It makes me feel that what we have
is real
It could never be too late oh yeah
yeah
[Chorus]
Baby!
Listen to your heart, won’t let you
down
Cause you should be my Lady!
Now that we’re apart love will show
how
Life carries on…
I’ve never felt so strong
Life can lead us to a happiness
never ending
If we just know that we belong to
each other
Never worry, grow as we go
See you in your wedding dress
I can see you in your wedding dress
I see you walking down in your …
(wedding dress)
I can see you in your wedding dress
(Oh, yea~)
Baby girl you won’t regret
Come along just take my hand
Let’s start this journey livin’ life so
beautiful
This happy hope that we spread,
love and see
It goes deeper so deep from my
heart (Whoa oh oh oh oh)
I’ve never felt so strong
Life can lead us to a happiness
never ending
If we just know that we belong to
each other
Never worry, grow as we go
See you in your wedding dress
I can see you in your wedding dress
Never let go… never let go
oh yeah

Ten2five – you (lyric)

You did it again
You did hurt my heart
I don’t know how many times
Oh you… I don’t know what to say
You’ve made me so desperately in
love
And now you let me down
You said you’d never lie again
You said this time would be so right
But then I found you were lying
there by her side
Ooh you… You turn my whole life so
blue
Drowning me so deep, I just can
reach myself again
Ooh you… Successfully tore my heart
Now it’s only pieces
Oh nothing left but pieces of you
Oohh oh baby
Ooh you frustrated me with this love
I’ve been trying to understand
You know I’m trying I’m trying
Oh you… I don’t know what to say
You’ve made me so desperately in
love
And now you let me down
You said you’d never lie again
You said this time would be so right
But then I found you were lying
there by her side
Ooh you… You turn my whole life so
blue
Drowning me so deep, I just can
reach myself again
Ooh you… Successfully tore my heart
Now it’s only pieces
Oh nothing left but pieces of you
You turn my whole life so blue
Drowning me so deep, I just can
reach myself again
Ooh you… Successfully tore my heart
Now it’s only pieces
Oh nothing left but pieces of you

Jingga dipelupuk mata

this is my old blog. too bad i forgot my paasword T.T
and this story was made when i am in senior high school, 2 years ago. kkkk

mongkeymong's Story

“Max.. Udah belum?” keluh Jingga, bosan dari tadi hanya duduk saja diranjang rumah sakit ini.

“Bentar lagi, ini udah sampe endingnya, Ga.” Max menjawab tanpa menoleh.

“Kamu jenguk Aku cuma buat nulis novel, ya?”

“Iya..” jawab Max spontan.

“Huh! Kalo gitu pulang aja sana!” usir Jingga bete.

“Hehe.. Bercanda Jingga.. Abis, tadi aku ajak ke taman eh kamunya malah ninggalin aku dan balik ke sini sendiri. Aku ampe panik banget tahu..” Max membela diri panjang lebar.

“Hihi.. Tadi aku kecapekan soalnya..” Jingga nyengir kuda.

“Dasar kau ini..”

“Nulis cerita apa Max?”

“Detektif, mau baca?” tawar Max.

“Gak ah, males.” tolak Jingga.

“Tau deh..” Max emang cuma basa-basi saja. Walau sudah 2 tahun jadian, Jingga tidak pernah membaca karya Max sekalipun, ‘si Jingga sih baca banner cafe yang dia datangi saja ogah, apalagi baca novel.’ pikir Max.

“Max udah sore lho.”

Max mengalihkan pandangannya dari laptop. Jingga tersenyum manis disana.

“Hm…

View original post 1,137 more words

Largissimo #springstory

Largissimo #springstory

Kala matahari pagi menyapa, aku segera membuka jendela kamarku. Dan yang kulihat adalah embun dimana-mana. Bersamaan dengan kuncup bungan asterku yang mulai mekar, kristal-kristal salju yang menempel di dahan pohon pun mencair. Mengalir lembut dan mengusap semua bagian dahan.
Oya, sudah setahun ini, semenjak aku lulus sma, aku jadi seorang pengangguran. Aku sama sekali belum mempunyai rencana apapun. Kakek menyuruhku untuk membantunya berkebun saja. Toh sebagian besar teman-temanku juga melakukan hal yang sama. Kecuali mereka yang berniat kuliah dan pindah ke kota.
Ngomong-ngomong soal sekolah, ternyata So Jin menyelesaikan sekolahnya di desa ini. sstt.. kau tahu kenapa? Karena dia menyukai seseorang di kelas kami, dan beruntungnya dia, orang yang dia sukai juga menyukainya. Sampai sekarang mereka masih berpacaran. Dannnn pria itu adalah Kang Soo, dia itu sobatku saat di sd, malah kalau boleh sombong, bisa dikatakan kalau Kang Soo itu pengikutku, yang baginya adalah pembela kebenaran saat di Sd. Jadi kau tahu lah.. itu artinya apa. So Jin takluk PADAKU!
Sementara kedua orangtua So Jin sudah kembali ke Seoul enam bulan lalu. Aku berpikir, bagaimana bisa gadis metropolitan manja macam So Jin rela melepas segalanya demi seorang pria desa macam Kang Soo?
Hyung Jin… Oppa menyebalkan itu, tidak pernah sekali pun kembali ke desa kami. Dia berbohong. Dulu dia bilang akan sering mampir kesini. Nyatanya? Tak sekali pun dia menunjukan batang hidungnya dihadapanku.
Tapi tenang saja. Aku sudah melupakannya. Aku sama sekali tidak merindukannya. Aku juga mengerti, perasaanku padanya hanya sesaat. Kalau orang bilang sih, cinta monyet. Iya, cinta anak-anak yang hanya sekilas saja. tidak serius. Itulah yang kuyakini, dan selalu kukatakan pada Mae Yoon, kakek, dan bahkan So Jin kalau dia sedang meledekku.
Tapi mereka tidak percaya. Mereka bilang aku hanya berusaha percaya kalau aku tidak merindukannya. Mae Yoon bilang, kalau hanya melihat pun, dia tahu aku menderita karena Hyung Jin tidak lagi disini. Mereka bilang aku terlihat sangat tidak bercahaya seperti biasanya. Mereka bahkan bilang kalau hidupku seakan melambat.
Iya, mereka benar. Aku merasa kalau segala sesuatunya sekarang semakin melambat, sangat. Aku merasa kalau sehari tidak lagi 24 jam tapi 42 jam. Saat aku berjalan dari rumah ke bukit, rasanya aku membutuhkan waktu seharian. Setiap harinya terasa semakin lambat.
Dan iya, aku merindukannya. Sangat. Walau aku mencoba membencinya yang dengan kurangajar meninggalkanku, aku tetap merindukannya. Ini benar-benar sialan. Kenapa aku harus merindukan orang itu!

Sebenarnya sebulan lalu, kakek menawariku untuk kuliah di kota. Yup, di Seoul. Aku menolaknya mentah-mentah. Untuk apa aku ke seoul? Toh aku sama sekali tidak ingin kuliah. Aku tidak punya cita-cita semacam itu.
Tapi kakek dengan pedenya bilang kalau dia sudah memesankan tiket kereta untukku. Dia bilang aku ‘akan’ pergi selasa depan. Apa-apaan kakek ini!
“Nam Chun-a!” panggil sebuah suara yang sedikit serak. Membuatku mengalihkan pandanganku dari kabut yang mulai menyingkab, memperlihatkan rerumputan hijau yang menyegar seiring tingginya matahari musim semi.
“Apa?” tanyaku dengan suara melengking stereo.
“Kakek memanggilmu. Cepatlah, aku harus pergi ke toko.” So Jin memberi tahu dengan tergesa-gesa. Bisa kubayangkan dia sedang memakai sepatunya dan segera melesat menubruk pintu depan untuk pergi bekerja di toko pinggir jalan besar milik orangtua Kang Soo.
Tak mau mencari masalah, aku segera melesat ke ruangan kakek dengan terlebih dahulu terjatuh karena menginjak piamaku sendiri yang kebesaran.
“Kakek?” panggilku sambil masuk ke ruangan yang penuh kaligrafi jaman dinasti Joseon. Aku duduk di kursi kayu kebanggaan kakek. Menghadap lukisan Raja Se Jong Yang Agung. Kakek sangat mencintai Raja Joseon ini. Karena baginya berkat Raja Se Jong negara kami memiliki huruf dan aksara yang mutlak menjadi milik kami sendiri. Bukan pinjaman dari negara yang dulunya ingin menguasai negara kami tercinta.
Aku mendengar langkah kaki diseret yang tentu saja berasal dari kakek. Dia keluar dari ruangan kecil penyimpanan buku-buku sejarah lamanya. Kakek memang penggemar hal semacam itu.
Kakek menyimpan sebuah tumpukan kecil di meja dihadapanku. Aku menaikan sebelah alisku heran.
“Ambillah. Itu memang milikmu.” Ucap kakek seolah menjawab keherananku. Apapun isi tumpukan kertas dihadapanku itu, kuharap bukan makelar sejarah dinasti apapun dimasa lalu.
***
Aku menatap pantulan wajahku di jendela kereta. Aku masih tidak percaya akhirnya aku pergi ke Seoul. Untuk sekolah pula. Tapi meski begitu, tekadku bulat. Aku akan kuliah. Bukan, bukan untuk menemui Hyung Jin. Walau memang di rumahnya lah aku akan tinggal. Setidaknya beberapa bulan saja sampai aku terbiasa dengan keadaan kota.
Aku membuka lipatan besar kertas gambar di tanganku. Yang menjadi alasan terkuat kenapa aku akhirnya memutuskan untuk pergi ke Seoul.
Sebuah gambar anjing berwarna coklat tanpa bulu dengan mata sayu menatapku balik. Air mataku menetes perlahan. hatiku rasanya ditusuki es musim dingin kemarin saat melihatnya.
“Jang-a…” lirihku pada gambar anjing itu. Lalu pandanganku beralih pada sebaris tulisan ceker ayam dibawahnya.
“Jang-a… kenapa kau mati? Sebenarnya apa penyakitmu? Kenapa bulumu rontok dan kulitmu berkoreng?”
Aku ingat, aku menggambar Jang saat aku masih Sd. Saat itu jang tiba-tiba tidak mau makan apapun, keadaannya melemah dan bulunya rontok setiap hari. Kulitnya menjadi sangat buruk, hingga akhirnya dia mati dipangkuanku.
Di desa kami, tidak ada dokter hewan. Yang ada hanyalah dokter biasa. Dan saat itu aku bertekad akan menjadi dokter hewan di desaku. Tidak boleh ada yang mati seperti Jang-ku.
***
Kakek menyuruhku langsung naik taksi begitu aku sampai di Seoul. Tidak boleh mau kalau ditawari apapun oleh siapapun. Tapi nyatanya, tidak ada yang menawariku apapun di stasiun ini. bahkan saat aku kesulitan mengangkat koperku ke taksi, tidak ada yang menawarkan bantuannya walau disana sangat banyak orang yang melihatku kesusahan. Hih! Tawaran apanya!
Taksi yang kunaiki melaju kencang di jalanan besar. sungguh besar. tiga kali lipat jalan besar desa kami. Semua yang kulihat disini persis seperti apa yang kulihat di televisi.
“KYAKKKK!!” aku berteriak heboh saat melihat layar besar di sebuah gedung tinggi. Won Bin Oppa di layar itu sedang membintangi iklan kosmetik pria. Dibawah layar terpampang tulisan ‘2001 spring look’. Supir taksi didepanku mendelik kesal.

“Kamsahamnida~” seruku begitu supir taksi telah mengantarku ke alamat tujuan. Dia tidak terlihat senang saat aku memberinya uang recehan sebagai ongkos. Padahal kan sama-sama uang.
“Permisiii..”  seruku sambil mengetuk pintu pagar tinggi dihadapanku.
“Permisiiiii..” ulangku lebih kencang. Tapi tidak ada jawaban.
Ngengg ngengg ngenggg
Terdengar bunyi motor keras entah darimana, yang jelas itu sangat mengganggu.
“PERMISIIIII..” teriakku meningkahi bisingnya motor yang malah semakin keras.
“PERMIS—“
“Nam Chun?” panggil seseorang.
Aku menoleh kaget.
“Omo!” seruku dengan suara tercekat. Lebih mirip suara kodok tenggelam daripada suaraku.
“Opp…a.” lanjutku masih terkesima. Dia tak kalah terkesimanya denganku.
Kulihat dia meletakan helm hitamnya di stang motor lalu berjalan ke arahku.
“Bagaimana kau bisa ada disini?” tanyanya sambil melirik koper besar disampingku. Aku meneliti ekspresinya. Kaget bercampur tidak percaya, tapi untunglah tidak ada ketidaksukaan disana.
“Ng.. Apa tuan dan nyonya Yang tidak memberitahu Oppa? Aku akan kuliah di Seoul. Dan.. sementara aku akan tinggal disini.” aku memberitahukan. Dia mengangguk perlahan lalu mengangkat koperku.
“Ayo masuk.” Ajaknya sambil tersenyum. Manis. Bagaikan de javu, aku menatap senyum itu lama dan terkesima. Sama seperti saat setahun lalu aku bertemu dengannya.

Ternyata tuan dan nyonya Yang sedang ada di kebun belakang, meminum teh sore sambil memandagi kelopak bunga ceri yang mulai mekar.
“Ya ampun ya ampun.. aku lupa kalau kau datang hari ini.” pekik nyonya Yang sambil menyerbu ke arahku.
“Aku tidak mendengar bunyi bel tadi.” Ucap tuan Yang. “Kau menunggu lama?” tanyanya lagi, khawatir.
“Dia tidak memencet bel, dia berteriak ‘permisi’.” Hyung Jin menjawabkannya untukku. Dengan sedikit menahan kikikan geli. Aku merengut. Bell apanya? Di desaku tidak ada. Mana ku ingat kalau di seoul rumah-rumah memakai bell dan interkom?
“Ya sudah, kau istirahat saja dulu, pakailah kamar So Jin. Hyung Jin antar Nam Chun istirahat ya.” Pesan nyonya Yang.
***
Aku berkuliah di universitas yang sama dengan Hyung Jin. Aku senang bukan main. Kkk. Tapi kami berbeda departemen. Oppa di departemen hukum, sementara aku kedokteran.
Sudah seminggu aku kuliah di tempat ini. Tapi belum menemukan keseruan apapun. Pelajaranku pun belum membahas ilmu apapun tentang penyakit-penyakit hewan. Kurasa kami masih dalam masa perkenalan dan pembiasaan.
Oya, dan selama seminggu ini juga aku tidak pernah melihat Oppa di kampus. Padahal setiap hari dia mengantarku kuliah dengan motor besarnya.
Aku ingin melihatnya yang sedang bergaul dengan anak-anak kota seoul. Aku ingin melihat bagaimana dia saat bersama teman-temannya. Aku ingin melihat dia saat dikelas dan menyimak pelajaran.
Oleh sebab itu saat aku dimintai antar oleh Soo Mi yang akan menemui kakaknya di departemen hukum. Aku menyetujuinya dengan semangat.
Kami berjalan bergandengan tangan di koridor yang tidak terlalu ramai menuju departemen hukum. Sesekali kudengar beberapa pria menggoda dengan  memanggil ‘rambut kepang’ ke arahku. Aku tidak tahu apa mereka tertarik atau terusik dengan rambut desaku itu. sebodo amat. Bleh!
Kami tiba di depan aula besar, yang kuketahui sebagai area kantin departemen hukum. Aku mengedarkan padangan kedalam aula itu. Banyak orang.
“Ayo cepat.” Soo Mi menarik lenganku untuk cepat masuk. Gadis berambut bob itu memang tidak sabaran. Membuatku berjalan tergesa dibelakangnya.
“Eh?” aku melihat seseorang berjaket biru tua sedang berkumpul dalam lingkaran kecil mengelilingi meja kantin. Mereka terlihat heboh dengan saling melempar makanan kecil satu sama lain. Sementara gadis-gadis berwajah cantik diantara mereka hanya tertawa-tawa bersama.
“Oppa!” aku memanggil pria berjaket biru tua itu. Tapi dia sama sekali tidak mendengarkan karena tepat saat itu seseorang berambut bergelombang sepinggang menarik pundaknya untuk…. mencium Oppa tepat di pipi lalu dibalas dengan rangkulan Oppa di bahu gadis itu.
Deg!
“Op—“
“Kau sedang apa sih? Ayo cepat!” Soo Mi menarik lenganku lebih kencang tanpa sempat aku memanggil Oppa.

“YA KI WOONG-AAA!!!” teriak Soo Mi nyaris saja membuat gendang telingaku meledak. Aku ingin memarahinya tapi lagi-lagi gadis berisik ini berteriak keras.
“KEMANA SAJA KAU HAHHH? Kudengar Eomma mendapat surat peringatan dari dosen karena kau tidak datang ujian selama tiga kali berturut-turut. Tapi kulihat kau rajin sekali ke kampus. Apa yang kau lakukann?” semprot Soo Mi dengan wajah bertekuk-tekuk.
Aku mengalihkan pandangan ke arah seorang pria tinggi besar yang memakai celemek putih sedang mengaduk daging asap potong dengan sendok besar. Tampak tak terganggu oleh ocehan Soo Mi.
“YA KIM KI WOONG!” Soo Mi kembali berteriak. Gemas.
Orang yang dipanggil Ki Woong itu akhirnya menoleh, dengan gerakan slow motion, seperti dia sudah bosan melakukan hal itu ribuan kali.
“Apa?” tanyanya seolah tadi tidak mendengar ocehan panjang Soo Mi.
“Hhh..” Soo Mi menyerah, “terserahlah, kau memang ke kampus bukan untuk belajar, tapi untuk menghabiskan waktu.” Soo Mi mendecak tak habis pikir.
“ini, aku kenalkan, dia temanku, namanya Lee Nam Chun. Nam Chun-a, dia kakakku, adiknya kakak iparku sih.” Soo Mi memperkenalkan.
“Annyeong haseyo.. Nam Chun Imnida..” aku membungkuk pelan. Tapi saat aku menegakkan kembali badanku, bukannya sapaan atau senyuman yang kudapat, melainkan dia yang sudah kembali sibuk mengaduk daging asap.
“Ya! Balas sapaannya dong.” Gerutu Soo Mi, tapi Ki Woong tidak bereaksi sama sekali.
“Aish orang gila ini. Argg bisa-bisa aku gila juga! Nam Chun –a, kita pulang saja!” Soo Mi menarikku dari sana. Aku yang masih gamang hanya menurut.
***
Soo Mi sudah pulang dengan On Yu pacarnya. Sementara aku menunggu di halte bis. Biasanya Oppa akan menjemputku disini. Tapi sudah lebih dari setengah jam aku menunggu dia tidak juga datang, padahal aku sudah mengiriminya sms.
Aku kembali menghubunginya. Tidak diangkat. Cemas, kuputuskan untuk pergi ke kantin tadi saja. Semoga Oppa masih ada disana.

Aku mengedarkan pandanganku. Tapi tidak memerlukan waktu lama karena disana hanya ada segelintir orang yang terlihat sedang mengobrol sambil meminum teh hangat.
“Chogiyo (permisi), ng.. apa kau mengenal Hyung Jin Oppa?” tanyaku pada seorang pria berpakaian rockstar. Dia terlihat mengernyit sedikit.
“Oppa?” dia memastikan pendengarannya. Membuatku salah tingkah.
“Kau adiknya yang mana? Kau tidak mungkin pacarnya kan?” dia memindaiku dari atas kebawah.
Aku bingung harus menjawab apa. Aku memang belum pernah mendengar Oppa mengajakku berpacaran. Tapi.. saat di desa dulu.. kami selalu bergandengan tangan, pergi ke ladang berdua, dan menghabiskan sore di tebing desa. Dia juga pernah bilang kalau aku gadis baik dan manis. Apa aku tidak bisa menganggapnya sebagai hubungan yang spesial?
“Oppamu pergi dengan Mi Yeon Nuna (Kak Mi Yeon). Mungkin ke club. Atau bermain bowling.” Pria itu akhirnya menjawab. Lalu pergi meninggalkanku.
Pergi?

Aku berjalan dengan lunglai. Pikiranku entah pergi kemana. Tidak, tentu saja pikiranku tertuju pada Oppa. Kenapa dia pergi ke club dengan wanita? Apa dia pacarnya? Apa dia gadis yang tadi kulihat mengecup pipi Oppa? Dan.. dia seorang Nuna?
Tanpa terasa aku sudah nyaris sampai di halte, lalu kudengar sebuah klakson berbunyi nyaring, aku mengenalnya, itu klaskson motor Hyung Jin Oppa. Aku mengangkat wajahku dengan semangat. Tapi semangatku luruh dengan cepat, seperti tumpukan salju yang meleleh tiba-tiba saat matahari musim semi yang menghangat muncul di cakrawala.
Oppa membonceng seseorang. Benar, itu gadis tadi. Dan, namanya Mi Yeon?
Aku berjalan pelan kearahnya.
“Nam Chun-a, aku harus pergi kesuatu tempat bersamanya, kau bisa pulang sendiri kan? Aku akan tunjukan bisnya.” Ucap oppa saat aku sampai disamping motornya. Wajahnya cerah. Sementara itu, wajahku sendiri membiru.
“Dia siapa oppa?” tanyaku ingin tahu.
“Ah, ini pacarku, Mi Yeon.” Jawab oppa kalem. Wajahnya masih secerah tadi. Aku mengigit bibir bawahku, mencoba menahan desakan air yang ingin tumpah dari mataku. Pacar?
Aku menatapnya nanar.
“Ada apa Nam Chun-a? Kau sakit? Wajahmu pucat.” Tanyanya meneliti wajahku, dia bahkan turun dari motornya. Dan kepanikannya itu membuatku semakin sedih dan marah.
“Nam Chun-a?” Oppa kembali memanggilku.
“Aku menyukaimu Oppa, kupikir kau tahu soal itu. bagaimana bisa kau pacaran dengannya?” akhirnya aku membuka suaraku. Walau yang kudengar adalah suara yang bergetar hebat menahan tangis. Nyaris tak jelas.
Terjadi keheningan yang sangat panjang. Bisa kubayangkan ekspresi Oppa yang kaget. Atau entah jijik. Aku tidak tahu. Bahkan aku lupa kalau diaana ada orang lain.
“Kupikir kau juga menyukaiku. Kau bilang aku baik dan manis, kita… kita..”
“Nam Chun-a..” Oppa memanggil namaku dengan pelan. seolah takut satu kata saja darinya bisa membuatku hancur lebur.
“Kurasa… kau salah paham..” lanjutnya lebih lembut lagi.
“Aku memang menyukaimu. Kau sudah seperti adikku sendiri. Kau memang baik dan manis. Tapi.. bukan yang seperti itu.” dia mencoba menjelaskan. Tapi sayangnya semua kata-katanya tidak berhasil masuk ke gendang telingaku. Atau tepatnya aku sendiri yang melarangnya masuk.
“Kau harus pulang sekarang, aku… aku antar saja ya?” dia menawarkan diri sambil merangkulkan tangannya di bahuku. Membuatku ingat kalau dia juga melakukan hal yang sama pada si Mi Yeon itu.
Aku menepis tangannya, air mata sudah merebak heboh dari mataku, “bagaimana bisa kau memperlakukan ‘adikmu’ dan pacarmu dengan hal yang sama? Bagaimana bisa kau mengatakan gadis yang kau anggap adik, manis dan baik? Bagaimana bisa kau memegang tanganku setiap hari kalau aku adikmu!” aku nyaris saja berteriak kalau suaraku tidak habis duluan.
“Ka! Kkeojyo! (pergi! Menyingkirlah!)” ucapku sambil menunduk dalam.
Dan saat aku mengangkat wajahku. Oppa, ah tidak, pria itu, sudah tak ada. Meninggalkanku sendirian. Ditemani helai-helai bunga ceri tua yang jatuh satu-persatu ke kepalaku.
Aku terdiam untuk beberapa menit, menenangkan diriku sendiri sebelum akhirnya aku sadar aku tidak tahu bus untuk pulang. Dengan mata yang masih dirembesi air, dan pipi yang masih lembab, aku merogoh kantung celanaku dan mengambil ponsel. Tapi baru saja aku menempelkan ponsel itu di telingaku, seseorang yang entah siapa merebut ponsel itu. kejadiannya hanya terjadi sepersekian detik. Setelah aku berhasil menangani keterkesimaan dan syokku, aku segera mengejar copet itu.
“YAAAAAAA!!!”
***

PS. Largissimo : sebuah tempo atau dinamika dalam partitur musik yang artinya adalah nada yang lebih pelan/lambat.