Ayeah… This is just a little gift for you.. Kkkkkk enjoy it deros..
~~Geu Nal~~
Songfic from Apink – April 19th
Cast:
Lee Jinki
Choi Soomi
Pagi ini aku bangun sangat pagi. Dan aku bangun dengan seulas senyum lebar di bibirku. Mataku teralihkan pada sebuah kalender meja yang menunjukan deretan angka 1-30 tepat dibawah tulisan April.
Senyumku semakin lebar saat melihat sebuah tanggal yang sengaja kuberi tada hati dengan spidol merah muda. Tanggal 19.
Tepat di hari ini, setahun lalu. Aku bertemu dengannya. Dengan seorang pria aneh yang untuk pertama kalinya dalam hidupku, bisa membuatku jatuh hati.
Awalnya jujur saja aku tidak terima kalau ternyata orang seaneh dia malah bisa mencuri hatiku. Si aneh itu. Bisa-bisanya dia melakukan ini padaku.
Dan aku lebih aneh lagi karena sekarang malah aku yang sangat berterimakasih padanya. Berterimakasih karena telah datang kehidupku. Berterimakasih karena telah membuatku merasa menjadi wanita yang diinginkan. Terimakasih telah membuatku menyukaimu, mencintaimu. Terimakasih untuk segalanya.
Terimakasih untuk hari itu. Ya.. hari itu.
Pertengahan musim semi tahun lalu. Seperti semua remaja lain yang baru lulus sma, aku juga mempersiapkan diri untuk memulai kehidupan baruku di perkuliahan. Aku menyiapkan segalanya dengan baik. Buku-buku, informasi mengenai semua kegiatan yang akan kulakukan di kampus, bahkan denah kampusvpun sudah kupersiapkan dan kuhafal dengan matang di otakku. Termasuk perkiraan murid-murid darimana saja yang akan bersaing denganku di jurusan photografi.
Hanya ada satu hal yang tidak kupersiapkan. Yang tidak kuperkirakan; pertemuan dengannya di hari pertamaku kuliah.
Namanya Lee Jinki. Dia dua tingkat diatasku. Dia juga mengambil jurusan yang sama denganku. Tapi kurasa dia tidak belajar sebaik diriku. buktinya dia harus mengulang salah satu mata kuliahnya.
Dan di kelas itulah kami bertemu.
Saat itu semua murid di kelas itu sudah duduk tegak dan mendengarkan penjelasan doseb. Termasuk aku. Aku duduk di jajaran meja paling belakang. Bukan karena aku tidak berniat mendengarkan pelajaran dengan baik, hanya saja disinilah aku merasa nyaman. Walau dari jauh, aku tetap bisa menyerap pelajaran dengan sempurna. Dan disini, aku tidak akan terlalu tampak menyolok, hal yang sangat tidak kusukai.
Lalu kemudian, lima belas menit setelah kelas dimulai, seseorang menyelinap ke kelas kami. Tidak ada yang menyadari kedatangannya selain aku. Karena dia memilih duduk disampingku yang memang kosong.
Aku menoleh sekilas, dia tampak sedang mengelap keringat di dahinya, meyadari ada yang memperhatikan, dia juga menoleh padaku. Lalu melempar cengiran lebarnya padaku, seolah ingin aku tahu kalau dia memiliki sederetan gigi putih rapih. Aku segera mengalihkan pandangan kembali pada dosen, tanpa membalas cengirannya.
“Heh, kau tidak mau memberi salam? Aku senior lho.” Tiba-tiba dia berbisik dibalik bukunya yang terbalik. Aku membulatkan mata dengan kaget, kukira dia setingkat denganku, namun segera kututupi sebisa mungkin.
“Annyeong haseyo..” akhirnya aku menyapa, lebih karena tidak mau kehidupan perkuliahanku kedepannya menjadi rumit hanya karena tidak sopan pada senior.
“Annyeong.. siapa namamu?” dia bertanya masih dengan menutupi wajahnya dengan buku terbalik. Aku mengernyit tidak suka. Aku tidak suka berkenalan dengan orang yang sangat sangat asing. Terlebih dia kelihatannya banyak bicara.
“Hei, siapa namamu?” ulangnya setengah memaksa.
“Choi Soomi..” jawabku akhirnya, dengan ragu.
“Cham yeppeun ireumyo..” ujarnya sambil mengangguk beberapa kali.
“Namaku Lee Jinki.. aku tingkat tiga.” Dia memberitahu. Aku hanya mengangguk kecil lalu berusaha kembali fokus pada dosenku yang sepertinya beberapa kali melirik ke arahku dan Seonbae tidak jelas ini.
“Kau mau ini? Aku bekerja paruh waktu di Chiken N chikun.” Dia menyodorkan sebuah wadah bekal berisi ayam panggang kecap. Aku mengernyit.
“Tidak terimakasih..” ucapku yang kini sudah mulai mengeluarkan segelintir keringat gugup dari dahiku.
“Ah ayolah, ini enakkk. Kedai kami adalah kedai ayam paling lezat se korea. Bahkan sampai terkenal sampai mancanegara. Ayo makan.” Dia menyodorkan ayamnya lebih dekat denganku.
“Ti..tidak Seonbae, aku.. aku tidak mau ayam.. terima—“
“Chogiyo.” Seru sebuah suara dengan pengeras suara. “Chogiyo.” Ulangnya lagi. Aku menelan ludah dengan susah payah.
“Turunkan buku terbalikmu itu.” perintah suara itu, dosen kami.
Aku menggigit bibir bawahku hingga nyaris berdarah. Oh ayolah, ini hari pertamaku masuk mata kuliah ini. Jangan sampai aku juga kena damprat.
Kulihat Seonbae gila ini menurunkan bukunya, sial, dia malah nyengir lebar dan bukannya menunduk penuh rasa bersalah.
“Hhh.. sudah kukira itu pasti kau.” Dosenku menggeleng pasrah. “Jinki-ssi, tutup mulutmu dan jangan mengajak murid baru mengacau dikelasku. Dan kalian harus ikut aku setelah kelas selesai.” Pungkas dosen kami tegas. Aku rasanya ingin menangis. Apa-apaan ini?
Aku menunduk malu saat menyadari ternyata semua orang tengah melihat kearah kami.
Aku bersumpah besok akan duduk di bangku paling depan.
Sumpahku pada diri sendiri, semoga saja dengan begitu aku tidak akan apes sebangku dengan Seonbae gila ini.
Hari itu pukul 3 sore saat aku dan Jinki, si Seonbae gila, berjalan berdampingan dibelakang dosen Lee. Aku menunduk dalam karena beberapa orang yang kami lewati memperhatikanku dan Jinki. Tapi kurasa si Jinki itu sudah tidak punya urat malu, karena dia malah melenggang penuh percaya diri sambil bersiul macam burung gagak pengganggu.
Dosen Lee duduk di dibalik meja kerjanya. Aku masih menunduk dalam-dalam.
“Aku sudah pusing harus memberimu hukuman apalagi.” Desah dosen Lee.
“Ya Lee Jinki! Kalau kau sudah malas kuliah, sudahlah berhenti saja. Lebih baik kau terus bekerja di restoran ibumu saja!” kini dosen Lee meneriaki Jinki walau dengan suara kecil pasrah.
Aku juga pasrah menunggu giliranku.
“Abeojiii… maafkan aku. Eng.. Sekarang aku boleh pulang ya kan? Ya ya ya?” Jinki membuka suara. Dan apa yang dikatakannya nyaris saja membuat daguku jatuh ke lantai. Bukan hanya karena dia dengan tidak sopannya meminta pulang,tapi juga… Apa? Dia bilang apa?? Abeoji??.
Aku mengangkat wajahku dan menatap Jinki dengan mata melebar.
“Dasar kau anak sialann.” Dosen Lee melemparkan tempat tisyu dimejanya pada Jinki. Pria itu menangkap lemparan Dosen Lee dengan lihai, seolah dia sedang bermain baseball di lapangan.
“Abeoji! Jangan panggil aku anak sialan. Nanti kau juga jadi ayah sialan, dong.” Gerutu Jinki yang malah membuat dosen Lee semakin kesal.
“Dasar anak— hhh.. sudahlah, terserah kau sajalah, urus saja hidupmu semaumu, aku tidak mau tahu lagi.“ dosen Lee menghela nafas pasrah. Lalu dia menoleh padaku yang masih disorientasi diluar radar pembicaraan kedua orang ini.
“Kau.. Choi Soomi, kan?” tanya dosen Lee padaku. Aku mengangguk pelan. Sambil kembali menunduk.
“Kudengar kau murid dengan nilai sempurna saat penerimaan mahasiswa, benarkah?” tanyanya lagi.
“Ye..” jawabku singkat.
“Hei.. tidak usah menunduk, angkat saja wajahmu..” bisik Jinki ditelingaku. Demi Tuhan, aku ingin memukul wajahnya sok tahunya itu.
“Diam kau Lee Jinki.” Dosen Lee memperingatkan, tapi pemuda itu malah mengeluarkan siulan kecil sambil mengetuk-ketukan sepatunya.
“Kalian mengobrol di kelasku, tentu saja kalian akan mendapat hukuman.” Ujar dosen Lee mencoba bersikap tenang. Aku kembali menunduk. Baru jga masuk kuliah, sudah dapat hukuman.
“Hahh.. sudahlah, kalian pergi bersihkan halaman belakang saja.” dosen Lee tidak mau pusing-pusing lagi memikirkan hukuman kami.
“Dan, Choi Soomi-ssi, kau kan pintar dan juga teladan baik semasa sekolahmu, tolonglah kau ajari berandalan ini setidaknya untuk bersikap baik dan tutup mulut selama kelasku.” Tambah dosen lee yang sukses membuatku merasa sangat merana.
“Ye..” jawabku akhirnya karena melihat dia menunungguku menjawab. Lalu aku, dan Jinki keluar dari ruangan itu.
“Hhhh… ini gilaa..” desahku begitu pintu dibelakang kami ditutup Jinki. Wajahku sudah memerah menahan tangis. Aku tidak pernah dihukum seumur hidupku. Aku murid teladan. Dimana pun aku berada, di organisasi macam apapun aku bergabung, aku selalu menjadi teladan dan tidak penah dapat hukuman atau sanksi.
Tapi hanya karena sial dan berbagi meja dengan dia…
Aku menoleh ke kiriku, dimana pemuda berkaos putih itu berdiri dengan santai. Aku ingin memarahinya dan memaki, tapi… mana bisaa?? Pertama, karena dia adalah seniorku, aku tidak mau mencari masalah tambahan di hari pertamaku disini. Kedua, Seonbae gila ini ternyata anak dosenku sendiri. Yang sialnya baru saja menyuruhku untuk mengajarkan sopan santun pada anaknya.
‘Aku ingin matiiiiiii..’ rengekku dalam hati.
“Kau tidak mau pulang?” tanya Jinki dengan mata segarisnya yang berusha melebar.
Aku menahan diri agar tidak menjawab dengan suara melengking penuh emosi tak terkontrol.
Tanpa menjawab aku langsung berjalan ke koridor sebelah kanan, arah yang menuju halaman belakang kampus.
“Hei. Untuk apa kau kesana?” Jinki setengah berteriak dibelakangku.
Dia bodoh atau apa?
“Hei, kita tidak usah melakukan apapun, tidak usah membersihkan halaman…” dia menahan pergelangan tanganku.
“Seonbae tidak dengar? Tadi Pak Lee menguruh kita bersihkan halaman belakang.” Jawabku tidak bisa percaya.
“Akh..” dia mengibaskan tangannya di udara, seolah sedang menghalau lalat yang mengganggu pemandangannya, “ayolah… kampus ini punya tiga pengurus kebun, kedatangan kita kesana tidak akan mempengaruhi apapun. Kita pulang saja…” dia hendak menarik lenganku.
“Tidak bisa, aku tidak mau dapat hukuman yang lebih berat nantinya.” Aku menolak mentah-mentah.
“Kau keras kepala juga ya..” dia malah kembali menebarkan cengiran lebarnya. Membuat matanya semakin menyipit hingga tak terlihat lagi bola mata didalamnya.
“Jinki-a!” teriak seseorang. Kami sama-sama menoleh ke asal suara. Seorang pria berbadan besar dengan pakaian tanpa lengan berjalan ke arah kami. Aku seakan mengerut saat dia sudah ada dihadapanku dan Jinki. Kalau orang ini juga mahasiswa, kurasa dia sudah tinggal kelas selama beberapa generasi.
“Ada apa??” tanya pria besar itu.
“Aku mengajaknya pulang bersama tapi dia tidak mau.” Jawab Jinki sambil sok merengut. Aku menggigit bibir karena gara-gara Jinki menujukku, pria besar itu kini juga menoleh padaku dengan wajah datar yang bagiku terlihat sedang mengacam.
“Kau tidak mau pulang dengan Jinki kami?” tanya pria besar itu padaku. Yang walau sebenarnya diucapkan biasa-biasa saja tetap terdengar penuh ancaman.
Aku ingin menjawab tapi suaraku hilang ditelan udara.
“Kau mau kan? Pulang sekarang?” kini Jinki yang mengambil alih pertanyaan, dia tersenyum sangat lebar, memperlihatkan gusinya yang merah muda. Aku hanya mengangguk pasrah.
Jinki mengajakku pulang dengan motornya. Aku naik dengan terpaksa. Aku masih menunduk karena pria besar itu juga ikut bersama kami ke parkiran, dia memakai motor besar berwarna hitam mengilat.
“Bong Jun-ah, dia tidak mau memeluk pinggangku, padahal aku akan ngebut.” Ujar Jinki pada si pria besar. Pria itu menoleh padaku. Sebelum dia mengatakan apapun, aku segera memeluk pinggang Jinki, lagi-lagi terpaksa.
Hari sudah berangsur petang. Matahari di ufuk barat sudah mulai bersembunyi diam-diam. Meninggalkan warna jingga pudar di tiap kelopak bunga ceri yang mekar dan berjatuhan dipinggir jalan.
Jinki tidak membawaku ke rumahku, padahal aku sudah bilang aku tinggal di perumahan Myeongro Gil.
Dia malah membawaku kesebuah kedai ayam. Aku membaca banner kedai itu. Chiken N Chikun.
“Ayo turun..” ajak Jinki. Aku hanya menurut.
“Ya Jinki-a. Kau membuat masalah lagi dengan Ayahmu hah?” sembur seseorang begitu kami memasuki kedai itu. Seorang wanita setengah baya dengan celemek kuning berdiri dibalik mesin kasir sambil menghitung uang.
“Eomma, aku lapar..” Jinki berujar pada wanita itu.
“Ambillah saja makananmu sendiri. Bong Jun-a ayam panggang kita sudah habis. Cepat kau buat lagi, ya?” perintah wanita itu pada pria besar.
“Baik nyonyaaaa.” Seru Bong Jun dengan seringai ceria yang lebar. Aku nyaris tersedak ludahku sendiri.
“Dia koki handal di kedai ini. Lihat saja badannya yang bongsor. Tadi dia menyusulku karena aku memintanya. Untuk mengancammu.” Jinki berbisik ditelingaku. Aku membulatkan mata tidak percaya.
“Mengancamku?” tanyaku tidak percaya, dan tidak mengeti, “untuk apa?”
“Untuk memaksamu ikut denganku.” Jawab Jinki singkat, kembali menebarkan senyuman lebarnya. Aku menganga lebar.
“Omoooo… kau datang dengan seorang gadis??” seru wanita paruh baya yang dipanggil Eomma oleh jinki itu baru menyadari kehadiranku karena daritadi terhalangi oleh Bong Jun yang besaarr.
“Amona… cantik sekalii.” Wanita itu menghampiri. Kedai memang sedang tidak ada pengungjung, jadi mungkin dia merasa bebas walau berteriak-teriak seperti ini.
“Annyeong hasimnikka..” sapaku sambil membungkuk 90 derajat.
“Ah… kau cantik dan sangat penuh hormat. Panggil aku Eomoni yaa?” pinta wanita itu dengan semangat. Aku hanya bisa mengangguk.
“Eomma, bawakan kami ayam yang enak ya?” Pinta Jinki sambil menarikku ke meja yang paling dekat dengan kami.
“BONG JUN-AAA… bawakan ayam paling enak di kedai kitaaa..” teriak Eomoni ke arah dapur.
Aku merasa sangat kikuk diperlakukan ‘seakrab’ ini oleh orang-orang asing.
“Kau dengar kan? Ibuku bilang kau cantik. Aku dan ibuku memang memiliki selera tinggi yang sama.” ujar Jinki padaku. Entah untuk alasan apa, aku merasa pipiku memanas seperti terbakar. Mungkin karena selama ini tidak ada yang mengatakan kalau aku cantik. Semua orang selalu menyebutku si pintar, si rajin, si disiplin dan hal-hal seperti itu. Tidak pernah ada satupun yang mengatakan aku cantik, sekalipun saat aku berdandan di pesta perpisahan sekolah.
“Kalian sejak kapan kenalan? Kenapa baru dibawa kesini sekarang sih?” Eomoni yang tiba-tiba saja sudah duduk di meja kami bertanya dengan semangat.
“Namanya Choi Soomi. Dia angkatan baru di kampusku Eomma.. aku baru saja mendapatkannya.” Jawaban Jinki sontak saja membuatku tersedak ludahku sendiri. ‘mendapatkan?’
“Woaa… baru pertama kali bertemu tapi kau sudah langsung mendapatkannya?” Emoni tampak takjub pada anakknya sendiri. Aku ingin menyangkal dan meluruskan segalanya, tapi suaraku tertutup oleh keseruan ibu dan anak ini yang dengan tidak sopan membicarakanku didepanku sendiri seolah aku tidak ada.
“Iya Eomma, saat aku masuk kelas, aku melihat dibangku belakang ada seseorang yang terlihat sangat bersinar, aku langsung duduk disampingnya. Sayangnya, dia tidak menanggapiku dengan baik, dia bahkan sepertinya kesal karena aku membuatnya dihukum Abeoji.” Ujar Jinki panjang lebar. Eomoni langsung mengalihkan pandangannya padaku.
“Aigoooo… Soomi-a… maafkan Jinki babo ini ya.. pasti sangat sulit untukmu bersamanya. Tapi jangan menyerah ya. Walau aneh dan kadang seenaknya, dia itu anak yang baik lho.” Eomoni menggenggam kedua tanganku dengan mata berbinar-binar. Aku hanya mengangguk dengan ragu. Tidak mau membuat wanita ini kecewa kalau aku menggeleng.
“Kalau dia macam-macam atau menyakiti perasaanmu, aku memberimu ijin untuk memukulnya atau bahkan melemparnya ke selat korea, jangan segan-segan menghukumya ya?” Eomoni kembali membuka suara.
“Ne..” aku menjawab singkat.
“Aku tidak akan menyakitinya Eomma..” Jinki membela diri. Aku menoleh dengan prustasi padanya.
‘Menyakiti apanyaaa???’
“Ah yasudahlah, aku kebelakang dulu, Aigu Bong Jun-aaaa. Mana ayam panggangnyaa??” Eomoni meninggalkan kami berdua.
Dan anehnya hal itu malah membuatku canggung didepan Jinki. Sunbae super gila dan aneh ini.
“Soomi-a, kau pasti kaget ya?” tanya Jinki sambil menyimpan dagunya ditelapak tangannya.
“Kaget apanya..”
“Aku tiba-tiba membawamu kesini dan mengatakan kalau aku mendapatkanmu. Tapi kuharap, kau akan terbiasa dengan kehadiranku mulai dari hari ini.” Jinki melanjutkan ucapannya. Aku hanya bisa diam, sibuk mencerna.
“Suatu saat, kau juga akan mendapatkanku kan?” dia bertanya sambil menatapku lekat, membuatku merasa sangat mati gaya.
“AHAHAHAHA…. tentu saja kau akan mendapatkanku. Mana ada wanita yang tidak terpesona dengan ketampanankuuu?” Jinki nyengir lebar. Dan sialnya cengiran lebar itu perlahan-lahan membuatku sangat nyaman.
Hanya saja, aku masih tidak mengerti dengan konsep mendapatkan dan didapatkan yang dianut pemuda ini. Tapi sudahlah, orang seaneh ini, kurasa tidak akan bisa dimengerti hanya dengan satu kali pertemuan.
“AKU PULANGGG…” sebuah teriakan menginterupsiku yang sedang berpikir keras.
“YA Lee Wooni! Ini kedai bukan rumah. Datanglah tanpa bersuara.” Dengus Jinki dengan alis menyernyit.
“Seperti kau tidak pernah membuat suara saja.” tukas seorang gadis dengan baju seragam sma biru tua. Dia melempar tas besarnya ke kursi dimana tadi Eomoni duduk.
“Hahhh aku lelah—Omo Omo!!” dia memekik histeris saat menyadari kehadiranku.
“Kau siapa?” tanyanya dengan mata sipit serupa Jinki yang melebar ekstra.
“Cerewet, Kau tidak perlu tahu. Pergi ke dapur sana.” Jinki mendorong kursi gadis itu agar menjauh.
“Ah maja! Kau pacar Oppa gila ini?” gadis yang dipanggil Wooni itu menunjuk Jinki dengan ngeri.
Belum sempat aku menggeleng, dia sudah lebih dulu menutup mata dan menepuk jidatnya seolah mendapat kabar kalau gunung puji dipindahkan ke Seoul.
“Oppa, akhirnya kau mengakhiri kejombloan abadimu itu.” Ujar Wooni sambil menempelkan kedua tangannya seolah sedang berdoa.
“Tapi, Eonni,” dia menoleh lagi padaku. “Kau harus sabar ya menghadapi orang ini. Dia memiliki kepribadian aneh yang sangat diluar batas kewajaran.”
“YA! Pergi kau dari sini.” Jinki berdiri lalu menarik bagian belakang kerah baju wooni dan menariknya ke arah pintu dapur. Lalu kembali lagi kedapanku setelah berhasil menyingkirkan gadis malang itu.
“Maaf ya Soomi, dia memang adikku, tapi dia tidak mirip siapapun, dia sedikit gila.” Ucap Jinki tanpa terlihat merasa bersalah sama sekali, entah padaku, ataupun pada Wooni adiknya.
‘Seolah kau tidak gila saja.’ ucapku dalam hati.
“Mwo??” Jinki melotot ke arahku. Aku meutup mulut, ternyata aku benar-benar mengucapkannya dengan mulutku sendiri.
“Yaa….” pemuda itu memijit pundaknya.
“Akhirnya kau mengeluarkan suara hatimu juga… aku senang Soomi-a.. teruslah bersikap terbuka padaku, katakan apapun yang ingin kau katakan, itu artinya kau sudah siap mendapatkanku.” Ucap Jinki serius sambil menggenggam kedua tanganku. Tapi itu malah membuatku ingin tertawa terpingkal-pingkal.
~~~~~~~~~~~
Setelah mandi, aku segera melesat ke dapur. Sekarang sudah pukul 9 pagi. Dan Jinki akan datang sejam lagi. Aku tidak mau membuatnya menunggu.
Kuputuskan untuk membuat ayam goreng saja agar ringkas, lalu membuat kimbab isi kimchi buatan Eomma. Lalu memasukannya ke kotak bekal. Kami merencanakan untuk pergi piknik ke taman rahasia belakang kampus.
Sejam kemudian Jinki datang. Aku mempersilakannya masuk.
“Oppa, aku belum memasukan minumannya, tunggu sebentar ya.” Ucapku sambil kembali berlari ke dapur sementara Jinki duduk dengan nyaman di sofa lalu menyalakan tivi.
Setelah selesai dengan perbekalan kami, aku mengahampiri Jinki.
“Soomi-a..” panggil Jinki yang sedang melongok ke luar jendela.
“Ne?” aku meletakan perbekalan kami lalu berjalan ke arah Jinki.
“Masalah besar.” ucap Jinki saat aku melihat jutaan air menjatuhi bumi dengan derasnya.
“Bagaimana ini??” tanyaku panik sambil mencengkeram lengan kemeja Jinki.
“Bagaimana lagi?”
Dasar orang aneh ini, di keadaan seperti ini saja dia masih bisa nyengir lebar dengan bahagia seperti itu.
“Kita piknik disana saja.” Jinki menunjuk sofa ruang tamu rumahku. Aku memberengut. Mana ada?
“Bagaimana lagi… yang penting kita tetap berdua. Orang tuamu sedang pergi keluar kan?”
“Eo.. mereka sedang mengunjungi kakekku.”
Jinki menarikku untuk duduk di sofa.
“Lagipula aku sedang malas mengendarai motor.” Ucapnya dengan girang.
“Kenapa?” aku bertanya heran.
“Aku lupa mengisi bensin. HAHAHAHAA…” dia meledak dalam tawa. Aku hanya mendengus bosan.
Jinki meletakan kepalanya di pahaku. Lalu menutup mata. Aku mengusapi dahinya yang terang benderang karena memantulkan cahaya lampu tepat diatas kepala kami.
Aku mendengar deru nafasnya yang tenang. Kurasa Jinki memang sedang lelah dan bukannya belum beli bensin. Karena sudah sebulan ini kedai keluarganya sedang naik daun. Jinki sibuk mengantar makanan kesana kemari.
“Oppa..?” aku bertanya saat jinki mengerjap setelah tidur setengah jam saja.
“Mmh?” dia bergumam kecil dengan suara yang sedikit serak bangun tidur.
“Saat itu, hari itu. Kenapa Kau langsung membawaku ke kedai dan bilang kau sudah mendapatkanku?” tanyaku akhirnya setelah setahun ini hanya menggumamkannya dalam hati.
“Eh? Kenapa tiba-tiba bertanya hal itu?”
“Keunyang..” aku mengangkat bahu sedikit.
“Itu rahasiaku. Kau tidak usah tahu. Hahahaha..” dia malah mempermainkanku. Aku hanya diam saja, tidak mau memaksa.
“Aku hanya sudah jatuh cinta padamu pada padangan pertama. Itu saja..” Jinki Akhirnya menjawab. Membuatku serasa terbakar karena malu.
“Ah sudah hentikan.” Tukasku malu.
“Kau kan yang bertanya.” Jinki mengeluarkan jurus mehrong yang jarang dia lakukan. Lalu kembali tertidur dipangkuanku.
Dalam hati aku berdoa pada Tuhan, agar aku bisa selamanya melihat Jinki yang tertidur di pangkuanku.
Agar aku bisa selamanya merayakan 19 April kami bersamanya, Lee Jinki yang paling kusayangi.
Musim semiku, Lee Jinki…
EPILOG
*Jinki*
Aku baru saja keluar dari ruangan BP. Apa-apan sekolah ini? Baru juga tidak sengaja tertidur di kelas, aku sudah dihukum membersihkan toilet. Sungguh tidak bisa dipercaya.
Set
Aku menghentikan langkahku saat melihat seseorang berjalan kearahku dengan wajah tertunduk.
Ah, dia, anak kelas 7 malang yang selalu dibully karena terlalu pintar dan sok menaati peraturan itu.
Tanpa sadar aku mengikutinya dari belakang. Seperti biasa, gadis itu akan duduk dibawah pohon bunga ceri di taman samping sekolah. Gadis itu akan tertidur setelah puas membaca buku besar yang entah apa judulnya itu.
Benar saja, buku ditangannya terjatuh dan matanya tertutup perlahan.
Aku menghampirinya dengan tanpa suara.
Jujur saja, bagiku, anak ini cantik. Wajahnya bulat dengan mata yang juga bulat bening. Dia memiliki gigi-gigi kecil yang manis. Kudengar dia murid teladan diantara kelas 7 lainnya.
Aku berjongkok disamping anak itu. meneliti wajahnya yang memiliki garis bekas air mata di sepanjang pipinya. Hasil dari bully-an teman-temannya.
Bagaimana bisa anak secantik dan sebaik ini diperlakukan seperti itu?
Aku tahu dia baik karena sudah berkali-kali aku melihatnya membantu Kim Ajumma membawa belanjaan untuk makan siang kami di kantin. Anak lain malah melewati mereka berdua tanpa kata sama sekali.
Dia berbeda.
Aku menoleh keatas saat merasakan benda-benada ringan berjatuhan ke pundakku. Beberapa juga jatuh di kepala dan pundak anak ini.
Aku menaikan tangan untuk mengingkirkan kelopak-kelopak merah muda dari pundaknya saat gadis itu mengerjapkan matanya. Aku melompat dan pergi darisana secepat kilat. Entah untuk alasan apa tidak mau dia mengetahui keberadaanku.