Snow White

image

A girl Alone in the forest
All the dwarfs has left Died by the aged
An apple in her hand
Poisoned apple, she knew
She can smells it clearly
Given from a very old woman
Once, she met a guy
A prince, very handsome prince from another kingdom
She is happy, undescribable feeling she ever felt
She read that the prince always saves princess, like her
Umm, No, you didnt eat the apple, i cant save you
The prince said. And then go, looking for princess he can saves
Days passed with the cold winter embrace her tighly
Again, She stare at the apple
That poisoned apple
She eat it up, not only a bite, but the whole
She died
And no one ever comeback
But the story is not end up there
She end up meet again with the dwarfs who crawling and cry for her dead
She smiled, i should have eat it sooner

song of love [ part 1 ]

-Westlife “my love”-

An empty street, an empty house
A hole inside my heart
I’m all alone, the rooms are getting smaller.

                Nada membiarkan tetesan air itu mengaliri tubuhnya yang beku. Nyaris mati rasa. Syaraf diseluruh tubuhnya meronta minta diistirahatkan dari siksaan air dingin yang tak hentinya mengguyur. Pantulan profil dirinya menatapnya balik dari cermin yang dia tatap tak bernyawa. Aliran dari matanya menyatu dengan guyuran shower diatas kepala. Membuat aliran itu tak nampak kasat mata. Hanya bengkak dimatanya yang cukup menjelaskan kalau gadis itu sedang menangis tanpa suara.

“Kakakkkkk sedang apa sihhh??? Aku sudah tidak tahannn. Keluarlah cepatt!!” teriak Melody dibalik pintu kamar mandi, tidak peduli kalau kakaknya nanti akan ngamuk karena ritual mengurng diri dikamar mandinya terusik. Habis, dia sungguh-sungguh sudah tidak tahan.

“Kakakkkk dengar tidak sih. Aku tidak mau kelepasan nihh.”

Blak

Pintu terbuka tiba-tiba. Membuat Melody terloncat saking kaget, diiringi dengan pekikak tertahan dari mulutnya. Nada berjalan gontai melewati adik semata wayangnya tanpa sepatah katapun, padahal Melody sudah siap disemprot dengan memasang tangan dikedua kupingnya. Keabsenan amukan kakaknya itu malah membuat Melody menganga dan tidak enak hati.

Seharusnya aku buang air ditetangga saja. Pikir melody dalam hati, mengira Nada masih belum menyelesaikan semedinya. Setahunya kakanya itu memang baru saja putus dari pacarnya. Namanya Rama. Irama Nasution lebih tepatnya. Well, harus Melody akui kalau Rama adalah tipikal pria sempurna. Dan mereka pacaran cukup lama, sekitar nyaris satu tahun, jangka waktu yang lama untuk Nada yang setahu Melody bisa berganti pacar setidaknya sebulan tiga kali.

Iya, sesering itulah Nada putus dan berganti pacar baru. Dia tidak pernah betah pacaran lama-lama dengan pria manapun. Tapi setahu Melody selama ini Nada tidak pernah kedapatan patah hati hanya karena putus cinta. Malah setahun lalu, saat Nada putus dengan pacarnya sebelum Rama, gadis itu malah langsung pergi ke GI demi memburu diskon special Chanel merk kesayangannya.

Tidak pernah tiba-tiba memiliki hobi mengurung diri di toilet dan keluar dalam keadaan gontai seperti ini. Tapi tiap kali ditanya apakah ini karena rama, Nada selalu menjawab bukan, melainkan karena stress dengan kerjaan yang menumpuk dengan deadline mepet. Melody putuskan untuk mempercayainya. Karena toh, selama ini, sejak mereka hanya tinggal berdua didunia ini, tidak pernah ada rahasia diantara mereka.

Buk

Nada menjatuhkan tubuhnya ke kasur empuk kesayangannya. Dengan rambutnya yang masih meneteskan banyak air, dia menutup mata tanpa repot-repot harus menaikan kedua kakinya sempurna ke atas kasur.

Tidur. Nada ingin cepat tidur. Karena hanya tidurlah yang bisa membebaskan hatinya dari sesuatu yang meski tidak ia mengerti, tetap membuatnya prustasi.

Kalau boleh jujur, Nada benci sekali dengan rasa prustasi yang selalu menyerangnya tanpa permisi. Dimanapun, kapanpun. Membuatnya merasa terjepit diruangan sempit.

Ada sesuatu didalam hatinya yang seakan merongrong seluruh perasaan dan emosinya menuju kegelisahan. Seperti sebuah lubang bergravitasi yang menyedot semua energinya dan hanya menyisakan kehampaan. Sebuah kehampaan yang terasa berat.

Mungkin aku hanya lapar. Pikir Nada awalnya. Oleh karena itulah dia menambah porsi semua makannya. Pagi, siang, malam. Dia makan dengan lahap dan rakus.

Tapi lubang itu masih terasa.

Mungkin, karena aku belum membeli tas tangan chanel edisi summer tahun ini.

Dia pun segera meluncur ke store Chanel dan membeli 2 tas edisi terbatas itu. Tapi hatinya tetap tidak terpuaskan.

Barulah saat dia berada dibawah guyuran air dingin setiap pagi dan malam kalai ia membersihkan badan. Hatinya terasa sedikit ringan, dengan meluncurnya air mata yang tidak dia ketahui penyebabnya. Nada tidak peduli, yang jelas dia merasa sedikit ringan. Kehampaan yang sedikit ringan.

 

Hangatnya pagi membelai mata Nada dan membuatnya terbuka. Gadis itu mandi, bersiap-siap lalu pergi ke kantor. Melanjutkan aktifitasnya seperti biasa.

Diperjalanan ke pusat perkantoran paling sibuk di jakarta itu, gadis ini mendapat pesan dari melody bahwa ia meninggalkan dress yang akan dia kenakan.

Shit, aku lupa! Makinya dalam hati. Hari ini adalah hari yang paling penting untuknya. Peluncuran sebuah majalan fashion baru bernama curve. Yang berhasil Nada dan Leony rekan kerjanya wujudkan. Yang telah mereka kerjakan mati-matian, membuat proposal perencanaan sampai proposal operational yang mereka presentasikan didepan seluruh dewan Majalah dimana ia bernaung sebagai kepala rubik wanita. Akhirnya ia dan Leony akan menjadi founder majalah mereka sendiri. Walau, well, mereka tidak memiliki saham cukup banyak disana.

Akhirnya Nada menyuruh Melody untuk mengantar dress YSL itu kekantor sepulang sekolah. Karena dijalanan macet ini, sama saja artinya dengan bunuh diri kalau Nada memutuskan untuk putar balik.

Gadis itu berjalan dengan penuh percaya diri, seperti biasa. Dagunya terangkat tinggi dengan senyum elegan menghiasi wajah ovalnya. Disepanjang lorong kantor, beberapa orang yang ada di teamnya menyapa dengan senyum cerah.

Langkah gadis itu melambat diujung lorong. Matanya menangkap sesosok pria jangkung dengan kamera dilehernya tengah mengobrol dengan Stella, seorang model pendatang baru yang akan teken kontran dengan Curve untuk edisi pertama mereka. Nada menyipitkan mata.

“Ah, Ka Nada!” Seru Stella, menyadari kehadiran Nada.

“Hai, stella,” nada tersenyum ramah. Ujung matanya menangkap tatapan pria jangkung itu.

“Well, i gotta go.” Ucap pria itu menunjuk kameranya, sebagai isyarat kalau dia harus segera memulai pekerjaannya.

“Mm.. selamat pagi, Bu.. Nada.” Sapa Rama dengan suara profesional, Nada hanya menaikan sebelah bibirnya. Walau ujung matanya masih gencar mengikuti langkah Rama yang berjalan menuju studio mereka tak jauh dari pintu ruangan Nada diujung kiri kantor mereka.

“Kak, isnt he’s hot.” Bisik Stella ditelinga Nada. Nada memicing ke arah teman adiknya ini.

“Are you kidding me?” dengusnya lalu berjalan cepat menuju ruangannya dengan hati kesal.

Hot? You are blind, stella. He’s sucks! Racaunya tanpa suara.

 

To be continued…

My tears says its you

image

Tetes-tetes terakhir air hujan mendarat di tanah basah tepat dihadapan kami. Kuhirup sejuknya wangi tanah banyak-banyak, membuat paru-paruku mengembang lalu mengempis lagi. Terus kulakukan berulang kali, takut kalau wangi tanahnya akan segera pergi bersamaan dengan mengintipnya matahari sore diatas kepala kami.

Hujan sama sekali telah berhenti, tapi tak ada satupun dari kami yang lantas beranjak dari kursi besi halte yang dingin ini.

Aku menoleh kesampingku, karena kurasakan sepasang mata hitam yang dalam tengah menatapku dalam.

“Mmh?” Gumamku padanya.

Dia hanya diam, lalu kemudian mulutnya terbuka, hendak mengucapkan sesuatu, pelan, dan ragu.

“Kau masih sendiri?” akhirnya dia bertanya. Wajahnya sangat serius, tapi aku tak lantas terpedaya. Karena justru disaat seperti inilah dia biasanya sedang bercanda.

“Hei, aku bertanya, kau masih sendiri? Kau belum punya pacar?”

Aku menunduk, lalu tertawa kecil. Bingung harus menjawab apa.

Pacar? Tentu saja aku punya. Pacar yang sangat aku sukai. Pacar yang akan selalu kuhargai keberadaannya, pun ketidakberadaannya. Pacar, yang bahkan tidak berani kumiliki karena terlalu berharga.

Dia ikut menggumamkan tawa. “Kau mendadak bisu, tidak asik.” Ucapnya sambil melemparkan pandangan kearah bis yang sedang melaju pelan kearah kami.

“Ayo naik, kita tidak mau kehilangan makan malam kita kan?” dia bangkit dari duduknya, sekilas membersihkan celananya dari cipratan air hujan.

“Kau sudah makan tadi di kantin.” Sindirku bercanda.

Dia hanya tertawa renyah, “sejak kapan kau lupa kalau aku makan lima kali sehari?”

“6 kali.” Sanggahku, “kau makan 6 kali sehari, bahkan kadang tujuh.” Kemudian tawa meluncur di bibir tipisnya.

“Ah, kau membuatku merasa seperti orang yang tidak pernah kenyang.”

“Bukan hanya perasaanmu, kok.”

Lalu kami tertawa bersama. Sambil berjalan sedikit menuju bis yang sudah berhenti didepan kami. Dia menggenggam lenganku, seolah takut aku akan terjatuh saat naik bis.

Seperti biasa, setiap hujan bis yang kami naiki selalu penuh karena orang-orang jadi malas jalan kaki. Tidak ada bangku yang bisa kami duduki. Kami berdiri berdampingan didepan pintu bis.

Jemari pria itu kembali melingkar di lenganku, sekadar menjagaku agar tetap berdiri seimbang didalam bis yang berjalan.

Pria ceking jangkung ini. Tidak pernah sekalipun gagal membuatku merasa special. Membuatku merasa bagaikan permata yang harus dipeluk agar tidak tergores atau terkena debu.

Selalu berdiri tepat dibelakangku, mejagaku dengan seksama, sampai kerikil saja tidak akan bisa membuatku terjatuh dan terluka.

Selalu berada disampingku. Sekadar memastikan agar aku punya sandaran dan pegangan saat aku goyah dan terpuruk.

Selalu memandu didepanku, memastikan aku tidak pernah tersesat dan sendirian.

Selalu, dengan perlahan, dia semakin berharga.

Kami berjalan menuju rumahku yang berjarak satu meter dari rumahnya. Kulihat bibiku sedang menyiram bunga aster kesayangannya.

“Kenapa kau terlambat? Dia mengajakmu main-main lagi ya?” Bibiku menyapa dengan tidak ramah, aku sudah bosan menegurnya agar bersikap baik pada pria ini. Bibi sudah terlanjur tidak menyukainya. Alasannya banyak. Dia selalu membawaku kabur ditengah-tengah kegiatan bibi yang sedang memarahiku. Menyelundupkan roti kacang merah saat bibi kesal dan tidak memberiku makan malam. Bibi benci karena pria ini melindungiku. Bibiku juga benci padaku karena ayahku yang sedang bekerja di jepang itu selalu melindungiku.

“Bibi, kulihat kau semakin tua saja, sepertinya sekarang sudah waktunya kau bertobat dan bersikap baik pada semua orang, bi, aku khawatir kau akan masuk neraka.” Ucap pria itu santai. Membuat wajah bibiku memerah dan semakin memerah karena amarah.

“Dasar anak jaman sekarang, tidak punya sopan santun!” geram bibi, aku hanya bisa menahan tawa, bibi terlihat seperti pantat babi saat marah seperti ini.

“Hei, tutup mulutmu, pergi sana!” tegurku pura-pura marah pada pria itu.

“Ah, kau, selalu melindungi bibimu ini. Tidak pernah berpihak padaku.” Dia berekting terluka dengan lucu.

“Cepat pergi!” Usirku sambil mendorong tubuhnya agar menjauh, karena aku takut akan tertawa terbahak didepan bibi gara-gara dia. Karena pasti aku akan tidak dapat makan malam kalau sampai itu terjadi.

Pria itu sudah menghilang ditelan pagar rumahnya, tepat didepan pagar rumahku. Aku berbalik, dan menemukan bibi sudah menatapku penuh kesal, lalu ia pergi dan masuk rumah lebih dulu.

Hhh… baiklah, selamat tinggal makan malam. Aku mendesah lesu.

Aku merapikan PRku, lalu bersiap untuk tidur, kutarik selimut sobekku menutupi seluruh tubuh. Rasanya hangat sekali. Seolah sedang dipeluk pemilik asli selimut ini. Ibuku. Hangatnya membuat rasa laparku sedikit menghilang.

Kotrak kotrak kotrak

Kembali kubuka mataku saat mendengar bunyi-bunyi mistis dari jendela kamarku.

Kotrak kotrak

Ssttt ssttt

Twinkle twinkle little star

Gumaman lagu itu sukses membuatku sadar. Ah, dia, kurasa dia sedang dalam misi penyelundupan roti kacang merah.

Dengan langkah pelan kukeluar dan menaiki tangga menuju atap yang biasa digunakan untuk menjemur pakain—juga tempat nongkrong aku dengannya untuk melihat meteor.

Saat sampai disana, kulihat dia sedang memijat dengkulnya sambil meringis, kudekati dia dengan terburu. Tak bertanya pun aku sudah tau kakinya pasti terbentur tembok tempat dia memanjat kesini.

“Kau harus berhati-hati. Kalau tidak, tak kuijinkan lagi naik kesini.” Kataku galak. Dia hanya nyengir lebar.

“Ayahku baru pulang dari berlaut, dia membawa banyak udang dan kepiting.” Dia membuka kotak nasi ditangannya dengan semangat. “Kau harus coba.” Perintahnya tak ingin ditolak. Sama seperti saat pertama kali dia memberiku hasil melaut ayahnya lima tahun lalu.

Dalam diam kami menyuapkan sedikit demi sedikit kepiting ke mulut kami.

“Rasanya kurang bumbu, ya? Aku menyuruh ibuku untuk cepat menyelesaikan masakannya. Aku takut kau keburu tidur dengan perut kosong.” Ucapnya tanpa mengada-ada.

Kunaikan wajahku menatap langit yang gelap. Menahan agar tidak ada setetes pun air yang mengucur dari mata.

Pria seperti ini. Kenapa bisa ada didunia ini? Apa dia malaikat? Kalau dia memang malaikat, kuharap Tuhan tidak mengambilnya sebelum aku mati. Kalau dia hanya manusia yang berhati emas, kuharap Tuhan mau mengijinkanku mati duluan sebelum pria ini.

“Heh, ngomong-ngomong, kau belum jawab pertanyaanku. Kau sudah punya pacar belum? Atau orang yang kau sukai.” Dia kembali membahas hal tadi sore.

Lagi-lagi aku hanya tertawa kecil.

“Ha, berhentilah tertawa. Aku serius. Disekolah banyak sekali pria yang mengincarmu. Aku takut mereka mengganggumu nantinya. Kalau kau bilang kau punya orang yang kausukai, aku jadi bisa menonjok wajah mereka satu-satu.”

Entah mengapa tiba-tiba aku jadi cengeng, rasanya air itu begitu saja jatuh ke pipiku.

“Ah, hujan ya?” tanyaku sambil menghapus air dipiku. Untunglah keadaan cukup gelap untuk membuatnya tidak melihat airmataku.

“Enggak.” Dia menengadahkan kepalanya untuk mengecek langit.

Lalu menit-menit berikutnya kami habiskan dalam diam. Dia diam dengan jawaban yang belum dia dapatkan, sementara aku diam dengan berusaha memberinya jawaban melalui airmataku.

“Kalau suatu hari kau punya pacar, atau orang yang sangat kau sukai, bilang padaku. Aku mau memastikan kalau dia cukup baik untukmu.” Ucapnya akhirnya, sebelah tangannya terangkat dan mengusap puncak kepalaku lembut, tanpa matanya melihatku. Syukurlah, karena aku sendiri sedang sibuk menunduk dan menahan tumpahan sesak di dada yang minta dikeluarkan lewat mata.

Bagaimana aku bisa mengatakan hal begitu pada orangnya langsung?

Bahwa bagiku, kau adalah pacarku yang tidak mau kudapatkan karena terlalu berharga. Aku tidak mau rakus. Mencintaimu saja sudah cukup. Tidak mulu harus memiliki hanya untuk menyadari kalau kau ada disini setiap saat. Melimpahiku dengan berkah paling besar yang tak kuyakin aku pantas mendapatkannya.

Aku tidak akan pergi kemana-mana. Apalagi terlalu jauh. Hanya akan tetap disini, bersyukur karena ada orang sepertimu disampingku.

Mungkin ini terdengar membual dan mustahil, tapi bagi orang sepertiku, mencintaimu saja sudah cukup.

Dan akan selalu kusimpan hal seberharga dirimu cukup dihatiku saja. Tidak akan membiarkannya keluar dari mulutku.

“Kau… berharga.” Itulah kata-kata yang diteriakan airmataku.

Ps. Inspired by lee eun mi’s song “i have a lover”

Wedding dress

Qeean melangkah dengan ragu. Ia remas pinggiran dress putih yang dikenakannya.
‘Fuhh. There is no way back.’
Gadis berlesung pipit ini sengaja datang dengan jam dimolorkan. Semolor-molornya. Tapi upacara pernikahannya ternyata juga ikut molor.

Mary yang pernah menjadi modelnya dulu saat di paris, tentu saja mengundang Qeean ke pesta pernikahannya. Tapi bukan itu yang membuat Qeean gamang. Melainkan dengan siapa Mary akan menikah.

Selangkah demi selangkah Qeean memasuki tempat acara. Dan akhirnya sampailah ia disana.

Matanya menatap lurus pada sepasang pengantin yang terlihat begitu serasinya.
Mereka terkikik geli satu sama lain. Entah siapa yang membuat lelucon. Mary mungkin?
Ujung-ujung bibir Qeean tertarik keatas. Bersamaan dengan meluncurnya sebulir air mata dihatinya. Perih.

Dalam hati Qeean sibuk merangkai kumpulan ‘Bagaimana jika’.
Bagaimana jika, kita tidak berpisah?
Bagaimana jika, aku bertahan disampingmu??
Bagaimana jika, kau memutuskan pergi ke paris denganku?
Bagaimana jika, 10 tahun lalu, aku tidak mengatakan hal terkutuk itu? ‘Fuck you Bri! Kau bahkan tidak bisa memilih mimpimu dibanding keinginan keluargamu! Bagaimana denganku?? Aku tidak mau terkurung dalam keluarga ketatmu itu! I do have dreams’

What if… i am your bride?

Qeean hanyut dalam khayalannya, dalam masa lalunya yang indah bersama Brian. Dalam cintanya yang selalu jatuh pada Brian.
Pada akhirnya, dialah yang gagal meraih impiannya.
Impiannya untuk memakai Gaun desainnya sendiri untuk pernikahannya dengan Brian.

Qeean meledak dalam tawa. Getir. Setidaknya, memang dialah yang mendesain pakaian pernikahan Brian. Dengan wanita lain.

Qeean kembali menatap pelaminan. Dimana sang pengantin pria juga menoleh padanya. Dengan tuxedo indah rangkaian mimpi Qeean. Yang karam.

*

2 minggu yang lalu

Langit sore membayangi wajah Brian saat ia membaca papan nama butik dihadapannya.
Ia pun membuka pintu berlapis kayu hitam etnik setelah sebelumnya membunyikan lonceng didepan pintu.
‘Ok so it is a vintage wedding dress boutique? So not you, mary.’

“Permisi.” Sapanya dengan mata menjelajahi ruangan penuh gaun putih indah menutupi dinding.
“Ah, i think he was just arrived by now Mary. Ok see ya.”
Terdengar suara seorang wanita yang disusul bunyi gagang telfon disimpan ke tempurungnya.
“Selamat datang,” ucap wanita itu dengan suara ramah, kini lengkap dengan perwujudannya yang menyembul dibalik tumpukan dus putih berisi gaun-gaun yang telah dipesan.
Pupil mata Qeean membesar demi melihat seraup wajah tampan dihadapannya. Bahu bidang dilapisi sweter tipis pas badan, dan tubuh tinggi tegap yang membuatnya sempurna. Bagai dewa. Sungguh mampu membuat seseorang jatuh cinta. Bahkan untuk kali kedua.

Kedua orang itu bertatapan sepersekian detik yang terasa canggung dan lama.
“Brian?”
“Qeean?”
Keduanya saling melempar keheranan.
“Hei, lama tak jumpa. Tentu saja, haha, harusnya kau di Paris, kan?” Brian mendekat ke meja penuh tumpukan kardus itu.
“Well, aku kembali setelah bosan kerja disana. Enam bulan lalu buka bisnis baru disini, kecil-kecilan sih.” Qeean menjawab santai.
“No no, ini bukan bisnis kecil, i’ve heard about Qee And fashion from someone to someone. Though i never know this so called famous boutique is yours, but i always knew you would become this great designer.” Brian kembali mengagumi sekelilingnya.
Qeean hanya tersenyum simpul mendengar pujian itu.
“Dan itukah yang membawamu kemari?? So you decided to buy a wedding dress from me?” Qeean bertanya dengan senyumnya yang masih melengkung.
“Sort of.” Brian menggerakan kepalanya ke kiri dan ke kanan dengan bibir terlipat rapat.
“Ah tentu, Mary brought you here. She’s.. Your… bride to be, right?” Ada keraguan dalam suara Qeean. Juga ada kegetiran didalamnya.
“Yup.”
“Ng ok, kau disini untuk fitting baju kan? Mary telah memilihkan satu untukmu.” Qeean memberi gestur agar Brian mengikutinya. Lelaki itu pun menurut.

Qeean mengetukan kakinya ke lantai kayu sembari menunggu Brian mencoba pakaiannya. Sebuah tuxedo hitam necis dengan kemeja dalam biru tua mengilat.
Sret
Brian membuka gorden fitting roomnya. Qeean mendongak.
“How?” Brian bertanya tak yakin, keningnya berkerut dalam.
“Looks nice. Very nice.” Qeean mengacungkan jempolnya ke udara. Sepertinya tidak akan ada yang memakai tuxedo itu sebaik Brian.
“Thanks to you.” Brian membungkuk sebagai ucapan terimakasih. Qeean tertawa renyah.
“Thanks to Mary, she has a great taste, she choose my fave. She saved you.”
Brian ikut tertawa kecil sambil mengangguk. “Yes right.”
Qeean mendekat untuk merapikan lipatan-lipatan tuxedo tersebut. Juga mengukur ketepatan ukurannya.
“Kurasa bagian perutnya terlalu longgar. Give me days to repair it.” Info Qeean sambil mengagguk-angguk.
“Ok, take your time. Mmm.. Should i give it back to you now?”
“Sure.”

Qeean melambai kecil melepas brian pergi.
Lalu beberapa menit ia habiskan sekedar untuk merenung dan menatap pintu dimana tadi Brian membalikan punggung dan pergi.
Gadis itu menghela nafas panjang. Lalu memutuskan untuk kembali mengerjakan desain baru. Lembur sekalian.

Malam menjelang, Qeean bersiap untuk pulang.
Sayangnya begitu ia membuka pintu, hujan deras menyambutnya dan menghentikan langkahnya.
“Great!” cecar gadis itu menghela nafas. Pandangannya beralih ke sebuah coffee shop yang berdiri disamping butiknya, dia putuskan untuk menunggu hujan reda disana. Tidak mungkin dia hujan-hujanan ke rumahnya yang berjarak 400 meter dari sana tanpa payung yang lupa ia bawa, kan?

“Qeean!” panggil seseorang begitu gadis itu masuk ke dalam. Qeean tersenyum ragu.

“Bertemu klien.” Jelas Brian singkat.
“Bisnis seperti ini bukan hal yang menarik ya. Hanya pergi kesana kemari untuk menandatangani legal investment perusahaan keluarga.” Brian mengangkat sebelah bibirnya. Wajahnya sarat akan ketidakpuasan.
“Aku iri.” Brian menatap Qeean iri juga bangga. Qeean tersenyum kecil dengan matanya yang membentuk bulan sabit.
“Setidaknya, setelah 10 tahun. Harus benar-benar ada yang meraih mimpi kan?”
‘Karena kau dan aku sudah memilih. Aku memilih memberontak dan pergi ke paris. Kau memilih tinggal dan menuruti keluarga.’ lanjut Qeean dalam hati.
“Ya. Ya. Kau benar. Aku senang kaulah yang akhirnya menang. Aku tahu seberapa besar keinginanmu untuk tetap mendesain baju pengantin.” Ucap Brian sungguh-sungguh.
Qeean menyesap kopinya dalam diam. Merasakan uap panas menyentuh bibirnya lalu menjalari tenggorokannya yang kering keronta.
“Hujannya sudah reda.” Ucap Qeean seraya meletakan cangkirnya.
“Ah ya.” Brian memandang jauh ke luar jendela.
“Kuantar?” Tawar Brian. Hanya dijawab goyangan kepala oleh Qeean.

*

Qeean sibuk melayani seorang gadis kaya yang memaksa agar Qeean memberikan sebuah gaun pastel yang telah dipesan orang lain.
“Tidak bisa Nona, gaun ini sudah fix ada yang punya.” Qeean berusaha agar suaranya tidak meninggi menghadapi gadis congkak ini.
“Aku akan bayar dua kali lipat.” Gadis itu mendengus keukeuh.
“Fine, i will make another dress dengan desain persis. Bagaimana?”
Walau enggan, gadis itu akhirnya mengangguk lalu merangsek pergi.
Tepat saat itulah Qeean menyadari ada tamu lain yang lekat memperhatikan.
“Sorry, lama nunggu ya?” Tanya Qeean bersalah.
“No no. Its okay. Aku yang harusnya minta maaf, its 6 pm.” Brian menenangkan.

“You know, you changed a lot. Tambah sabar ya sekarang. Qeean yang dulu kukenal pasti sudah marah-marah dan mengusir tamu tadi.” Brian terkekeh sendiri. Qeean tidak tahan untuk tidak ikut terkekeh.
“So you too. Kalau 10 tahun lalu, kau pasti sudah mengibarkan sayap supermen dan meleraiku dengan gadis tadi yang mungkin sudah adu jotos.”
“Haha tepat.”
“Hhmm.. Time flies, yah.” Qeean merenung.
“Tidak untukku.” Respon Brian tak disangka, matanya menatap Qeean lembut dan dalam. Meninggalkan lubang penasaran besar di hati Qeean.
“Mm… Yuk fitting baju.” Qeean melepaskan tatapan itu.

“Hell yeah, its perfect!” Qeean menatap keseluruhan penampilan Brian. Dia merapikan bagian bahu brian. Membuat semerbak wangi sitrus tercium indra Qeean. Sukses membuat gadis itu melayang walau sejenak. Ia segera menjauh.
“Akan kukirim paket wedding dress ini besok. Sekalian dengan milik Mary. She dont want you to see her in her dress before the day.”
“Tipically girls.” komentar Brian.
“Yeah. We like surprise.” Timpa Qeean, “well, its time to close.”
“Ah ya, diluar hujan.” Brian memberi tahu. “I bet you didnt bring your umbrella.” Ia menaikan sebelah alisnya.
“Ehaha.. You know me.”
“Kuantar pulang. Kau tidak boleh menolak. Cause it maybe the last.” Brian tersenyum kecil. Nyaris tak terlihat.
Qeean balas tersenyum. Selebar mungkin. So he will not see the hole he just made deep in her heart.
“Macet parah dijalan depan rumahku. Tidak akan bisa sampai dalam setahun dengan mobil.”
“Then we will walk.”

*

Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Hingga akhirnya Brian putuskan membuka suara. Walau itu adalah topik yang seharusnya tidak dia bahas kalau tidak mau goyah. Tapi dia hanya ingin semuanya terselesaikan.

“Aku mencarimu. Setelah pertengkaran kita, aku mencarimu.” Ucap Brian.
Qeean hanya bisa terdiam.
“Tapi tak cukup sanggup untuk menahanmu untuk tetap disisiku. Kau inginkan kebebasan. Yang tak bisa kuberikan karena keluargaku. Terlalu banyak yang harus kau korbankan hanya untuk bersamaku.” Lanjut Brian, nanar.
Qeean terpaku. Otaknya sulit dipaksa berpikir untuk menemukan jawaban yang pas. Karena semuanya terasa salah dihati gadis itu. Hati yang kembali berdebar hanya karena melihat wajahnya saja. Wajah yang dulu bahkan tidak pernah membuatnya tertarik. Terhalang oleh kacamata tebal seorang calon ahli fisika, yang mungkin sudah ia tanggalkan sepuluh tahun lalu. Saat pria itu putuskan untuk menurut dan belajar bisnis di keluarganya.
Tapi sama seperti Brian, Qeean pun menginginkan penyelesaian. Hingga memaksanya ikut menggungkap rahasia.
“Aku juga menunggumu. Duduk di kursi tunggu bandara. Berharap seseorang akan datang dan memutuskan pergi denganku” Aku Qeean.
“Fuhh..” dihelanya nafas panjang-panjang, lalu dengan senyum dipaksakan dia melanjutkan, “But maybe, just maybe, this is the best way for us. We have come this far. Kita hanya harus melanjutkan jalur yang sedang kita tempuh. Pertemuan ini, hanyalah kebetulah karena jalur kita yang saling melintasi satu sama lain. Sebelum akhirnya saling menjauh menuju tujuan masing-masing.” Qeean memaksa dirinya untuk bertahan. Tak ada air mata yang boleh lolos dari pertahanannya.
“Yeah.. Maybe.. Maybe we better off like this.” Tuntas Brian.
Keduanya menghentikan langkah.
“You can go now. That was my house.” Seru Qeean menunjuk sebuah rumah bercat krem.
“Ok.. Goodbye..”
Qeean menahan nafas sekuat tenaga.
“Good… Bye…”
Terdengar suara langkah kaki menjauh. Lambat laun semakin samar dan akhirnya tak terdengar.
Qeean melangkahkan kaki dengan gontai, ditemani guyurab hujan ringan diatas kepalanya. Menuju sebuah rumah yang masih 200 meter jauhnya dari sana.

——-

Musuhku

“Kau tahu?? Aku menyukaimu..” ucapnya kala itu. Aku hanya bisa menganga tak sangka.

Aku hanya bisa membisu.

“Kau tak perlu menjawab, aku tahu kau bingung. Kita sudah sekian lama saling mengenal. Dan selama itu pula saling bertengkar. Mungkin ini terdengar klasik bahkan klise, tapi memang benar, aku menyukaimu justru karena pertengkaran-pertengkaran kita. Itu saja yang ingin kukatakan.”

Bibirku serasa terkunci rapat. Lebih dari itu, memang benar aku bingung. Dia yang selama ini kukira membenciku, ternyata menyukaiku.

“Na… Aku sayang kamu. Maaf aku baru punya keberanian sekarang. Aku sayang kamu.”
Tangannya menyentuh pundakku lembut. lalu beralih kewajahku. Dia mengusap pipiku sayang. Rasanya sentuhan itu begitu nyata dan jantungku sakit dibuatnya.

Dia yang selama ini selalu bertengkar denganku. Dia yang selama ini kukira membenciku.
Dia… Yang selama ini coba kulupakan karena kukira membenciku..

“Rendi, udah yuk kita keluar… Nadia udah mau dimandikan.” Seseorang datang dan menarik lengannya dari wajahku. Lalu pergi meninggalkanku dengan jasadku.

Teman terbaik

Kau pernah bilang padaku, bahwa aku adalah teman terbaik yang kau punya. Aku adalah refleksi dari seorang teman yang paling sempurna.

Kadang aku bertanya-tanya, bagaimana jadinya kalau aku bilang bahwa aku bukan teman yang baik? Bahwa aku hanyalah orang yang sedang jatuh cinta?

Iya, jatuh cinta, padamu teman sepermainanku.
Bukan sejak awal aku menyadari perasaanku. Karena memang bukan sejak awal aku menyukaimu.

Aku menyukaimu melalui waktu. Melalui hari-hari yang kita lewati bersama. Melalui jalan-jalan setapak sawah yang kita pijak berdua.

Dan kuputuskan aku juga akan menyukaimu melalui diamku. Melalui doaku yang kupanjat kala sedang solat. Melalui sikapku yang akan selalu menopangmu.

Mungkin memang tidak lebih dari seorang pengecut aku dimataku sendiri. Hanya bisa mengagumimu dalam bisu.

Karena sebuah patenmu yang membuat bibirku kelu.
“Kau sahabat terbaiku.”
Begitu ucapmu.
Aku hanya bisa terpaku dan mengumbar senyum ambigu
Sendu

Surat untuk mantan

Dear you who used to be my love,,

Gak kerasa ya sudah nyaris setahun sejak kita putus. Entah aku harus menyebutnya baru setahun, atau sudah setahun.
Time flies since you gone.

Dulu pas aku putusin kamu, kamu tanya kenapa aku ingin putus. And i said im just tired. Ya, aku lelah, dan karena aku lelah, aku ingin kamu mengulurkan tanganmu untukku, tersenuyum, lalu seenggaknya bilang, “ayo kita coba lagi, kita cuma butuh istirahat, bukan putus”. Bukannya membalikan badan dan pergi.

Walau dari dulu aku tahu kamu itu bodoh, tapi tidak kukira kamu bakal sebodoh itu sampe rela aja ngelepas aku, yang kamu tahu sayang banget sama kamu.

Walau ya, beberapa hari kemudian kamu mengirim sms dan ngajak balikan. But that’s just it. Effortless. Membuatku merasa, apa aku tidak seberharga itu untukmu sampe sampe kamu gak niat banget ngajak balikannya??
Karena kalau kamu mau berusaha sedikiittt aja, i will say yes. Seriously!

And as time goes by, i cant forget you.
Nama kamu masih tetap ada disalah satu sudut hatiku yang sempit.
Yes, i missed you. A lot. Tapi kembali lagi padamu, itu adalah hal yang berbeda.

Setelah perpisahan denganmu, ada satu hal yang aku pelajari. Selalu, untuk melanjutkan cinta, dibutuhkan banyak pengertian dan kesabaran, effort. Dan kita tidak punya itu.
Jujur saja aku ingin menyalahkanmu, kamu yang tidak punya itu. Tidak punya effort sama sekali.

And in the end, i have to say that, we dont deserve each other. Karena seperti yang kau tahu, kita sama-sama orang yang penuh borok disekujur hati. Sama-sama terlalu sibuk mengurus luka sendiri. Pun tidak dewasa. Dan memang persamaan tidak selamanya selalu menyatukan.

Then break up is the only one way.

Oh, satu lagi.
Bukankah selama ini, aku tidak
pernah meminta apapun? Sekarang,
bolehkah aku meminta sesuatu?
Hanya satu saja.
Aku tahu kamu orangnya mellow banget. Always think that you are the most miserable guy in the world.
Jadi kumohon, coba berbahagialah walau sedikit.
kejarlah apa yang menjadikanmu bahagia.

Jujur saja, Setelah kita berakhir, hal yang
paling membuatku sedih adalah
kenyataan bahwa aku sudah tidak
berhak lagi menghawatirkanmu. Dan memang tidak mau lagi mencemaskanmu.

Dimasa depan, aku harap saat kita saling berpapasan dijalan. Saling menggandeng tambatan hati yang baru, atau bahkan yang terakhir, kita bisa saling tersenyum ikhlas, sekejap menengok kebelakang tanpa hati luka.

Cause life surely must go on. With or without you..

Sincerely,

Your past..

PS. Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba #suratuntukRuth bernard batubara @gramedia

Hello? Arde..? #FiksiLaguku

Hello? Arde..?

Lama tak jumpa, lama tak kudengar kabarmu. Bagaimana kabarmu, De?

De, dengarkan aku, untuk kali ini saja aku akan mengakui perasaanku, mengatakan segala yang sejak dulu terkubur dihati.

Arde, ingin sekali aku percaya bahwa akulah yang salah mengartikan sikapmu. Tapi sekeras apapun aku berpikir, sikapmu tetaplah terlalu jelas untukku. Kamu itu dingin, tapi tak jarang kamu begitu manis, lembut dan menghangatkan.

Giat menyuruhku agar tidak kebablasan bergadang menulis projek novelku. Menyuruhku minun susu daripada kopi. Menyarankanku pergi bergaul dan membuka diri dibanding mengurung diri.

Bagaimana bisa ku salah arti?

Walau kini kamu terus menyuruhku pergi, tapi aku sama sekali tidak bisa melangkahkan kaki.

Tidak seperti otak, hati tidak pernah belajar. Begitu pun hatiku.

Kembalilah De, tak apa jika memang aku salah arti..

#fiksilaguku
IU – voice mail
here is the lyric
and the song
Happy reading and listening^^

Samudra hijau #kalimatpertama

Saat itu adalah malam yang gelap dan penuh badai. Hujan turun deras kecuali pada interval sesekali ketika ia tertahan oleh embusan angin keras yang menyapu jalanan.

Tanpa berniat buru-buru, aku berjalan menuju sebuah halte terdekat yang bisa kujangkau. Rasanya sejuk saat air-air sedingin artik itu membasuh peluh dan lusuh diwajahku.

“Hatchim!” kugosok hidungku yang mulai membeku.
“Hatchim!” suara bersin yang bukan dariku sontak membuatku tersentak. Kumenoleh kesamping. Barulah aku sadar kalau sudah ada seseorang yang lebih dulu duduk disini. berselimutkan jaket hitam tebal yang kuyup. Dari rambutnya menetes sisa air hujan, mengalir kedagunya, lalu jatuh.

“Hachim!” aku kembali bersin. Semakin kedinginan, karena angin kencang seakan tidak menghiraukan dua anak manusia yang terjebak ini.
“Hachim!” sahut pria itu.
“Htchim”
Kami menoleh, lalu saling melempar pandangan keheranan.

“Hatchim!!!” kini suara bersin itu keluar dari mulut kami berdua secara bersamaan. Keras, mengalahkan guntur yang kala itu juga unjuk kebolehan. Lalu entah darimana mulanya, kami mulai tertawa terbahak. Seolah menanggapi kebetulan itu. Aku sendiri menganggap ini sebagai anomali. Tertawa seperti itu, entah kapan terakhir kali aku melakukannya. Dan sekarang, aku bahkan tertawa dengan orang asing.

Lelah tertawa, kulihat dia kembali mengusap hidungnya yang kembang kempis mencari udara. Jari-jari kurusnya merogoh saku jaket, mengeluarkan sebungkus tisyu yang telah tipis.
Dia mengangsurkan tisyu itu padaku. Aku menerimanya dengan ragu. Lalu menggunakannya untuk mengelap wajahku yang kuyu.

“Jadi, untuk apa seorang gadis belia ada diluar ditengah malam hujan lebat seperti ini?” tanyanya dengan sebuah senyum tipis, lebih tepat disebut seringai, tapi, sayangnya aku gagal menemukan niat jahat dalam seringai itu.
“Maaf ya, aku bukan gadis belia,” jawabku diluar konteks. Karena memang aku sudah tidak belia lagi, tepat satu semester lagi aku akan lulus kuliah. Dan kulihat dia sendiri bukan pria yang jauh lebih tua dariku.

“Oh oke, tapi kurasa kau lebih muda dariku.” Ucapnya lagi.
“Memang usiamu berapa?” tanyaku penasaran, tidak biasanya aku peduli pada orang-orang disekitarku, apalagi yang baru pertama kali kutemui seperti dirinya. Tapi matanya yang bening dan dalam, seolah menarikku, bagai samudra hijau yang menghanyutkan.

“Hei hei, bukan begitu urutannya kalau ingin kenalan.” Kelakarnya sambil terkikik ditengah tubuhnya yang gemetar. “well, namaku Alex, aku tidak menghitung umurku, yang jelas aku kelas tiga sma.” Lanjutnya tenang, membuatku membelalakan mata ekstrem.
Dengan gigi yang gemeletuk, aku menyebutkan namaku, “Stelas. 22 tahun.”
“Jadi, untuk apa pemuda belia berada diluar ditengah malam hujan lebat seperti ini?” tanyaku, meningkahi ekspresi terkejut diwajahnya. Lalu kami kembali tertawa bersama. Diantara hatiku yang saat itu berkecamuk, hasil adu mulutku dengan sekelompok orang yang biasa kusebut keluarga.

Aku menyeka peluh yang membanjir di dahiku. Mimpi itu lagi. kembali kututup mataku rapat. Me-reka ulang mimpi barusan, yang sudah terjadi beberapa bulan yang lalu.
Alex. Pemuda belia itu. Pikirannya terlalu tua untuk ukuran anak yang baru berusia 18 tahun. Tapi  terlalu muda untuk ukuran orang yang mati karena kanker.

“Tidak pernah ada istilah terlalu muda atau tua untuk orang mati. Bahkan yang belum lahir saja bisa mati.” Dia mencoba berkelakar ditengah infusannya.
“Kau sudah siap mati?” tanyaku dingin.

“Aku siap mati kapan saja.” Ucapnya serius. Matanya menusuk tepat di pupil mataku. Aku balik menatapnya, datar.
“Tadinya, aku siap mati kapan saja. Ibuku sudah mendapat suami yang mencintainya, ayahku juga sudah menikah lagi. Saudaraku, dia akan punya adik baru.” Lanjutnya masih dengan matanya yang menusuk.
“Tapi bagaimana dengan dirimu?” kini mata samudra itu mulai berair. Walau sekuat tenaga dia menahannya, aku tahu cepat atau lambat, air mata itu akan jatuh. Aku berdiri dengan kasar, gusar.
“Kalau begitu jangan mati.” Ucapku dingin, lalu merangsek meninggalkan ruangan pengap obat itu. Menjauhi mata samudranya yang coba menemukan air dimataku.

Selama seminggu, aku tidak mau menjenguknya. Sibuk mengurung diri dikamarku yang gelap. Berusaha mengabaikan suara-suara pertengkaran dari orang-orang rumahku yang silih bersautan.

Aku tidak peduli pertengkaran mereka.
Seseorang bilang padaku, “urusan orangtuamu adalah urusan mereka, bertengkar, atau bercerai, itu adalah urusan mereka. Urusanmu adalah dirimu sendiri, kebahagiaanmu sendiri.”
“Aku tidak bahagia.” Jawabku padanya.
“Akan kucoba buatmu bahagia.”
“Kau bilang kau akan mati.” Aku melempar pandangan. Ada jeda beberapa detik yang pengap, sebelum akhirnya dia menjawab.
“Aku tahu.”

Beberapa hari setelah aku mengurung diri dikamar, sponselku tidak ada hentinya berdering. Dan pada deringan yang ke empat belas, aku mengangkatnya.

Dia sudah tiada. Pemuda belia itu sudah tiada. Pemuda yang beberapa bulan ini mengisi hariku dengan sebuah kebiasaan yang baru kukenal. Tertawa.
Tapi kini mengembalikanku ke kebiasaan lamaku. Menangis. Dan mengurung diri.

Sebulan sejak hari itu. Matahari bersinar seperti biasa.
Pagiku juga masih sama, meraih ponselku, menghubungi satu-satunya kontak yang ada disana, lalu menunggu seseorang mengangkatnya. Sampai akhirnya panggilanku dialihkan ke pesan suara, aku sadar dia tidak akan mengangkat telfon.

Semalam aku bermimpi. Dia menggenggam tanganku, lalu menuntunku kerumahnya. Sepertinya dia ingin aku berkunjung untuk melayat. Walau terlambat. Aku menurut.

Setelah menekan bell, seseorang segera membukakan pintu untukku. Saat melihatku, wajah inggris wanita itu seketika kaget, lalu tak lama bergurat-gurat kesedihan dan luka terlukis disana. Dia lalu memelukku.
“Im so sorry…” dia mengucapkan bela sungkawanya.
“You must be so sad. Teribbly sad, dear.” Ucapnya sambil mengusap rambutku. Rasanya tulangku remuk merasakan pelukan ibu pemuda itu.

Dia membawaku kedalam rumah minimalis itu. Tapi aku tidak bisa. Aroma dan kehadirannya masih bisa kurasakan disetiap sudutnya. Aku pun pamit pergi. Dengan kantung air mata yang siap tumpah.

Halte ini masih saja sepi, tak peduli ini siang ataupun malam. Semilir angin membelai pipiku

Aku membuka mataku, merasakan seseorang sudah duduk disampingku.
Setengah terenyak melihat wajah itu lagi, tapi setelah menyadari kalau mata itu berwarna hitam pekat, aku benar-benar sadar dia bukanlah  dia.
“Alex menyerahkan ini padaku,” ucap pemuda itu. Menyimpan sebuah amplop hijau ke pangkuanku.

Hei Bro,
Gimana nih, gue rasa gue beneran bakal mati diumur gue yang baru 18 ini.
Sial!
Gue jatuh cinta.
Gue gak mau mati. Gue gak mau kehilangan dia.
Setelah gue mati, gue tahu dialah yang bakal paling menderita. Gue sesalin itu!

Tapi sialnya, gue bahagia, setelah gue ketemu dia, gue bisa ketawa bahkan saat gue kemoterapi. Berkat dia juga, gue bisa bertahan lebih lama selama beberapa jam.
Lexy, jagain dia buat gue. Tepatin janji gue buat bahagiain dia. Gue mohon.

#kalimatpertama dari novel
‘Paul Clifford’ karya Edward George Bulwer-Lytton (1830)

#PS tadinya cerpen ini buat ikut lomba di kampus fiksi, tapi udah telat karena internet tidak mendukung. Hehe.. Jumlah kata dibatas hanya 1000 saja, jadi ya gitu deh. Peace. Hehe

#FiksiLaguku Dear Mom

Dear Mom

Orang yang memikirkanku dahulu daripada dirinya sendiri..
Orang yang bertanya apa aku sudah makan saat dirinya belum dapat sesuap pun..

Dialah orang yang pertama datang kepikiranku malam ini. Malam sepi dimana aku terbaring lemah digerogoti demam tinggi sendirian.
Air mataku mengalir mengingat bagaimana Mamah akan mengusapi punggungku dengan minyak angin sambil mengomel kalau seharusnya aku menjaga kesehatanku.
Bagaimana Mamah akan menyiapkan bubur ayam kesukaanku pagi harinya.

Orang itu lah yang sedetik tadi menelfonku. Dan bertanya dengan gusar apa aku sudah makan obat.
Yang barusaja berkata kalau lebih baik aku pulang kampung agar cepat sembuh.

Mom, what should i do? I think im still so lack and fearful..  cant do anything without holding your hand.
Though i cant say it often,
I love you….

#fiksilaguku
Snsd – Dear Mom