Hello? Arde..? #FiksiLaguku

Hello? Arde..?

Lama tak jumpa, lama tak kudengar kabarmu. Bagaimana kabarmu, De?

De, dengarkan aku, untuk kali ini saja aku akan mengakui perasaanku, mengatakan segala yang sejak dulu terkubur dihati.

Arde, ingin sekali aku percaya bahwa akulah yang salah mengartikan sikapmu. Tapi sekeras apapun aku berpikir, sikapmu tetaplah terlalu jelas untukku. Kamu itu dingin, tapi tak jarang kamu begitu manis, lembut dan menghangatkan.

Giat menyuruhku agar tidak kebablasan bergadang menulis projek novelku. Menyuruhku minun susu daripada kopi. Menyarankanku pergi bergaul dan membuka diri dibanding mengurung diri.

Bagaimana bisa ku salah arti?

Walau kini kamu terus menyuruhku pergi, tapi aku sama sekali tidak bisa melangkahkan kaki.

Tidak seperti otak, hati tidak pernah belajar. Begitu pun hatiku.

Kembalilah De, tak apa jika memang aku salah arti..

#fiksilaguku
IU – voice mail
here is the lyric
and the song
Happy reading and listening^^

Samudra hijau #kalimatpertama

Saat itu adalah malam yang gelap dan penuh badai. Hujan turun deras kecuali pada interval sesekali ketika ia tertahan oleh embusan angin keras yang menyapu jalanan.

Tanpa berniat buru-buru, aku berjalan menuju sebuah halte terdekat yang bisa kujangkau. Rasanya sejuk saat air-air sedingin artik itu membasuh peluh dan lusuh diwajahku.

“Hatchim!” kugosok hidungku yang mulai membeku.
“Hatchim!” suara bersin yang bukan dariku sontak membuatku tersentak. Kumenoleh kesamping. Barulah aku sadar kalau sudah ada seseorang yang lebih dulu duduk disini. berselimutkan jaket hitam tebal yang kuyup. Dari rambutnya menetes sisa air hujan, mengalir kedagunya, lalu jatuh.

“Hachim!” aku kembali bersin. Semakin kedinginan, karena angin kencang seakan tidak menghiraukan dua anak manusia yang terjebak ini.
“Hachim!” sahut pria itu.
“Htchim”
Kami menoleh, lalu saling melempar pandangan keheranan.

“Hatchim!!!” kini suara bersin itu keluar dari mulut kami berdua secara bersamaan. Keras, mengalahkan guntur yang kala itu juga unjuk kebolehan. Lalu entah darimana mulanya, kami mulai tertawa terbahak. Seolah menanggapi kebetulan itu. Aku sendiri menganggap ini sebagai anomali. Tertawa seperti itu, entah kapan terakhir kali aku melakukannya. Dan sekarang, aku bahkan tertawa dengan orang asing.

Lelah tertawa, kulihat dia kembali mengusap hidungnya yang kembang kempis mencari udara. Jari-jari kurusnya merogoh saku jaket, mengeluarkan sebungkus tisyu yang telah tipis.
Dia mengangsurkan tisyu itu padaku. Aku menerimanya dengan ragu. Lalu menggunakannya untuk mengelap wajahku yang kuyu.

“Jadi, untuk apa seorang gadis belia ada diluar ditengah malam hujan lebat seperti ini?” tanyanya dengan sebuah senyum tipis, lebih tepat disebut seringai, tapi, sayangnya aku gagal menemukan niat jahat dalam seringai itu.
“Maaf ya, aku bukan gadis belia,” jawabku diluar konteks. Karena memang aku sudah tidak belia lagi, tepat satu semester lagi aku akan lulus kuliah. Dan kulihat dia sendiri bukan pria yang jauh lebih tua dariku.

“Oh oke, tapi kurasa kau lebih muda dariku.” Ucapnya lagi.
“Memang usiamu berapa?” tanyaku penasaran, tidak biasanya aku peduli pada orang-orang disekitarku, apalagi yang baru pertama kali kutemui seperti dirinya. Tapi matanya yang bening dan dalam, seolah menarikku, bagai samudra hijau yang menghanyutkan.

“Hei hei, bukan begitu urutannya kalau ingin kenalan.” Kelakarnya sambil terkikik ditengah tubuhnya yang gemetar. “well, namaku Alex, aku tidak menghitung umurku, yang jelas aku kelas tiga sma.” Lanjutnya tenang, membuatku membelalakan mata ekstrem.
Dengan gigi yang gemeletuk, aku menyebutkan namaku, “Stelas. 22 tahun.”
“Jadi, untuk apa pemuda belia berada diluar ditengah malam hujan lebat seperti ini?” tanyaku, meningkahi ekspresi terkejut diwajahnya. Lalu kami kembali tertawa bersama. Diantara hatiku yang saat itu berkecamuk, hasil adu mulutku dengan sekelompok orang yang biasa kusebut keluarga.

Aku menyeka peluh yang membanjir di dahiku. Mimpi itu lagi. kembali kututup mataku rapat. Me-reka ulang mimpi barusan, yang sudah terjadi beberapa bulan yang lalu.
Alex. Pemuda belia itu. Pikirannya terlalu tua untuk ukuran anak yang baru berusia 18 tahun. Tapi  terlalu muda untuk ukuran orang yang mati karena kanker.

“Tidak pernah ada istilah terlalu muda atau tua untuk orang mati. Bahkan yang belum lahir saja bisa mati.” Dia mencoba berkelakar ditengah infusannya.
“Kau sudah siap mati?” tanyaku dingin.

“Aku siap mati kapan saja.” Ucapnya serius. Matanya menusuk tepat di pupil mataku. Aku balik menatapnya, datar.
“Tadinya, aku siap mati kapan saja. Ibuku sudah mendapat suami yang mencintainya, ayahku juga sudah menikah lagi. Saudaraku, dia akan punya adik baru.” Lanjutnya masih dengan matanya yang menusuk.
“Tapi bagaimana dengan dirimu?” kini mata samudra itu mulai berair. Walau sekuat tenaga dia menahannya, aku tahu cepat atau lambat, air mata itu akan jatuh. Aku berdiri dengan kasar, gusar.
“Kalau begitu jangan mati.” Ucapku dingin, lalu merangsek meninggalkan ruangan pengap obat itu. Menjauhi mata samudranya yang coba menemukan air dimataku.

Selama seminggu, aku tidak mau menjenguknya. Sibuk mengurung diri dikamarku yang gelap. Berusaha mengabaikan suara-suara pertengkaran dari orang-orang rumahku yang silih bersautan.

Aku tidak peduli pertengkaran mereka.
Seseorang bilang padaku, “urusan orangtuamu adalah urusan mereka, bertengkar, atau bercerai, itu adalah urusan mereka. Urusanmu adalah dirimu sendiri, kebahagiaanmu sendiri.”
“Aku tidak bahagia.” Jawabku padanya.
“Akan kucoba buatmu bahagia.”
“Kau bilang kau akan mati.” Aku melempar pandangan. Ada jeda beberapa detik yang pengap, sebelum akhirnya dia menjawab.
“Aku tahu.”

Beberapa hari setelah aku mengurung diri dikamar, sponselku tidak ada hentinya berdering. Dan pada deringan yang ke empat belas, aku mengangkatnya.

Dia sudah tiada. Pemuda belia itu sudah tiada. Pemuda yang beberapa bulan ini mengisi hariku dengan sebuah kebiasaan yang baru kukenal. Tertawa.
Tapi kini mengembalikanku ke kebiasaan lamaku. Menangis. Dan mengurung diri.

Sebulan sejak hari itu. Matahari bersinar seperti biasa.
Pagiku juga masih sama, meraih ponselku, menghubungi satu-satunya kontak yang ada disana, lalu menunggu seseorang mengangkatnya. Sampai akhirnya panggilanku dialihkan ke pesan suara, aku sadar dia tidak akan mengangkat telfon.

Semalam aku bermimpi. Dia menggenggam tanganku, lalu menuntunku kerumahnya. Sepertinya dia ingin aku berkunjung untuk melayat. Walau terlambat. Aku menurut.

Setelah menekan bell, seseorang segera membukakan pintu untukku. Saat melihatku, wajah inggris wanita itu seketika kaget, lalu tak lama bergurat-gurat kesedihan dan luka terlukis disana. Dia lalu memelukku.
“Im so sorry…” dia mengucapkan bela sungkawanya.
“You must be so sad. Teribbly sad, dear.” Ucapnya sambil mengusap rambutku. Rasanya tulangku remuk merasakan pelukan ibu pemuda itu.

Dia membawaku kedalam rumah minimalis itu. Tapi aku tidak bisa. Aroma dan kehadirannya masih bisa kurasakan disetiap sudutnya. Aku pun pamit pergi. Dengan kantung air mata yang siap tumpah.

Halte ini masih saja sepi, tak peduli ini siang ataupun malam. Semilir angin membelai pipiku

Aku membuka mataku, merasakan seseorang sudah duduk disampingku.
Setengah terenyak melihat wajah itu lagi, tapi setelah menyadari kalau mata itu berwarna hitam pekat, aku benar-benar sadar dia bukanlah  dia.
“Alex menyerahkan ini padaku,” ucap pemuda itu. Menyimpan sebuah amplop hijau ke pangkuanku.

Hei Bro,
Gimana nih, gue rasa gue beneran bakal mati diumur gue yang baru 18 ini.
Sial!
Gue jatuh cinta.
Gue gak mau mati. Gue gak mau kehilangan dia.
Setelah gue mati, gue tahu dialah yang bakal paling menderita. Gue sesalin itu!

Tapi sialnya, gue bahagia, setelah gue ketemu dia, gue bisa ketawa bahkan saat gue kemoterapi. Berkat dia juga, gue bisa bertahan lebih lama selama beberapa jam.
Lexy, jagain dia buat gue. Tepatin janji gue buat bahagiain dia. Gue mohon.

#kalimatpertama dari novel
‘Paul Clifford’ karya Edward George Bulwer-Lytton (1830)

#PS tadinya cerpen ini buat ikut lomba di kampus fiksi, tapi udah telat karena internet tidak mendukung. Hehe.. Jumlah kata dibatas hanya 1000 saja, jadi ya gitu deh. Peace. Hehe