!!keep scrolling. you saw nothing!!

Tahu lagu Coldplay berujudul ‘Fix you’ kan?

Yah, itulah soundtrack hidupku hari ini.

 

“When You love someone but it goes to waste”

 

Bagaimana caranya agar perasaan bisa tidak mengharapkan balasan? Bisakah?

Karena saat ini aku sedang mengharapkan balasan. Lelah rasanya kalau harus terus hanya aku yang menyayangi. Ok, salahkanlah aku yang begitu mudah menyayangi orang-orang disekelilingku, mudah berharap kalau mereka juga akan merasakan dan memberikan hal yang sama.

 

Tak pernah kurasa sebegini sendirian. Ada banyak orang disekelilingku kini, tapi yang kurasakan hanyalah kosong. Melompong. Bagaikan kepompong yang ditinggalkan sang pemilik dan akhirnya melebur bersama angin.

 

 

My tears says its you

image

Tetes-tetes terakhir air hujan mendarat di tanah basah tepat dihadapan kami. Kuhirup sejuknya wangi tanah banyak-banyak, membuat paru-paruku mengembang lalu mengempis lagi. Terus kulakukan berulang kali, takut kalau wangi tanahnya akan segera pergi bersamaan dengan mengintipnya matahari sore diatas kepala kami.

Hujan sama sekali telah berhenti, tapi tak ada satupun dari kami yang lantas beranjak dari kursi besi halte yang dingin ini.

Aku menoleh kesampingku, karena kurasakan sepasang mata hitam yang dalam tengah menatapku dalam.

“Mmh?” Gumamku padanya.

Dia hanya diam, lalu kemudian mulutnya terbuka, hendak mengucapkan sesuatu, pelan, dan ragu.

“Kau masih sendiri?” akhirnya dia bertanya. Wajahnya sangat serius, tapi aku tak lantas terpedaya. Karena justru disaat seperti inilah dia biasanya sedang bercanda.

“Hei, aku bertanya, kau masih sendiri? Kau belum punya pacar?”

Aku menunduk, lalu tertawa kecil. Bingung harus menjawab apa.

Pacar? Tentu saja aku punya. Pacar yang sangat aku sukai. Pacar yang akan selalu kuhargai keberadaannya, pun ketidakberadaannya. Pacar, yang bahkan tidak berani kumiliki karena terlalu berharga.

Dia ikut menggumamkan tawa. “Kau mendadak bisu, tidak asik.” Ucapnya sambil melemparkan pandangan kearah bis yang sedang melaju pelan kearah kami.

“Ayo naik, kita tidak mau kehilangan makan malam kita kan?” dia bangkit dari duduknya, sekilas membersihkan celananya dari cipratan air hujan.

“Kau sudah makan tadi di kantin.” Sindirku bercanda.

Dia hanya tertawa renyah, “sejak kapan kau lupa kalau aku makan lima kali sehari?”

“6 kali.” Sanggahku, “kau makan 6 kali sehari, bahkan kadang tujuh.” Kemudian tawa meluncur di bibir tipisnya.

“Ah, kau membuatku merasa seperti orang yang tidak pernah kenyang.”

“Bukan hanya perasaanmu, kok.”

Lalu kami tertawa bersama. Sambil berjalan sedikit menuju bis yang sudah berhenti didepan kami. Dia menggenggam lenganku, seolah takut aku akan terjatuh saat naik bis.

Seperti biasa, setiap hujan bis yang kami naiki selalu penuh karena orang-orang jadi malas jalan kaki. Tidak ada bangku yang bisa kami duduki. Kami berdiri berdampingan didepan pintu bis.

Jemari pria itu kembali melingkar di lenganku, sekadar menjagaku agar tetap berdiri seimbang didalam bis yang berjalan.

Pria ceking jangkung ini. Tidak pernah sekalipun gagal membuatku merasa special. Membuatku merasa bagaikan permata yang harus dipeluk agar tidak tergores atau terkena debu.

Selalu berdiri tepat dibelakangku, mejagaku dengan seksama, sampai kerikil saja tidak akan bisa membuatku terjatuh dan terluka.

Selalu berada disampingku. Sekadar memastikan agar aku punya sandaran dan pegangan saat aku goyah dan terpuruk.

Selalu memandu didepanku, memastikan aku tidak pernah tersesat dan sendirian.

Selalu, dengan perlahan, dia semakin berharga.

Kami berjalan menuju rumahku yang berjarak satu meter dari rumahnya. Kulihat bibiku sedang menyiram bunga aster kesayangannya.

“Kenapa kau terlambat? Dia mengajakmu main-main lagi ya?” Bibiku menyapa dengan tidak ramah, aku sudah bosan menegurnya agar bersikap baik pada pria ini. Bibi sudah terlanjur tidak menyukainya. Alasannya banyak. Dia selalu membawaku kabur ditengah-tengah kegiatan bibi yang sedang memarahiku. Menyelundupkan roti kacang merah saat bibi kesal dan tidak memberiku makan malam. Bibi benci karena pria ini melindungiku. Bibiku juga benci padaku karena ayahku yang sedang bekerja di jepang itu selalu melindungiku.

“Bibi, kulihat kau semakin tua saja, sepertinya sekarang sudah waktunya kau bertobat dan bersikap baik pada semua orang, bi, aku khawatir kau akan masuk neraka.” Ucap pria itu santai. Membuat wajah bibiku memerah dan semakin memerah karena amarah.

“Dasar anak jaman sekarang, tidak punya sopan santun!” geram bibi, aku hanya bisa menahan tawa, bibi terlihat seperti pantat babi saat marah seperti ini.

“Hei, tutup mulutmu, pergi sana!” tegurku pura-pura marah pada pria itu.

“Ah, kau, selalu melindungi bibimu ini. Tidak pernah berpihak padaku.” Dia berekting terluka dengan lucu.

“Cepat pergi!” Usirku sambil mendorong tubuhnya agar menjauh, karena aku takut akan tertawa terbahak didepan bibi gara-gara dia. Karena pasti aku akan tidak dapat makan malam kalau sampai itu terjadi.

Pria itu sudah menghilang ditelan pagar rumahnya, tepat didepan pagar rumahku. Aku berbalik, dan menemukan bibi sudah menatapku penuh kesal, lalu ia pergi dan masuk rumah lebih dulu.

Hhh… baiklah, selamat tinggal makan malam. Aku mendesah lesu.

Aku merapikan PRku, lalu bersiap untuk tidur, kutarik selimut sobekku menutupi seluruh tubuh. Rasanya hangat sekali. Seolah sedang dipeluk pemilik asli selimut ini. Ibuku. Hangatnya membuat rasa laparku sedikit menghilang.

Kotrak kotrak kotrak

Kembali kubuka mataku saat mendengar bunyi-bunyi mistis dari jendela kamarku.

Kotrak kotrak

Ssttt ssttt

Twinkle twinkle little star

Gumaman lagu itu sukses membuatku sadar. Ah, dia, kurasa dia sedang dalam misi penyelundupan roti kacang merah.

Dengan langkah pelan kukeluar dan menaiki tangga menuju atap yang biasa digunakan untuk menjemur pakain—juga tempat nongkrong aku dengannya untuk melihat meteor.

Saat sampai disana, kulihat dia sedang memijat dengkulnya sambil meringis, kudekati dia dengan terburu. Tak bertanya pun aku sudah tau kakinya pasti terbentur tembok tempat dia memanjat kesini.

“Kau harus berhati-hati. Kalau tidak, tak kuijinkan lagi naik kesini.” Kataku galak. Dia hanya nyengir lebar.

“Ayahku baru pulang dari berlaut, dia membawa banyak udang dan kepiting.” Dia membuka kotak nasi ditangannya dengan semangat. “Kau harus coba.” Perintahnya tak ingin ditolak. Sama seperti saat pertama kali dia memberiku hasil melaut ayahnya lima tahun lalu.

Dalam diam kami menyuapkan sedikit demi sedikit kepiting ke mulut kami.

“Rasanya kurang bumbu, ya? Aku menyuruh ibuku untuk cepat menyelesaikan masakannya. Aku takut kau keburu tidur dengan perut kosong.” Ucapnya tanpa mengada-ada.

Kunaikan wajahku menatap langit yang gelap. Menahan agar tidak ada setetes pun air yang mengucur dari mata.

Pria seperti ini. Kenapa bisa ada didunia ini? Apa dia malaikat? Kalau dia memang malaikat, kuharap Tuhan tidak mengambilnya sebelum aku mati. Kalau dia hanya manusia yang berhati emas, kuharap Tuhan mau mengijinkanku mati duluan sebelum pria ini.

“Heh, ngomong-ngomong, kau belum jawab pertanyaanku. Kau sudah punya pacar belum? Atau orang yang kau sukai.” Dia kembali membahas hal tadi sore.

Lagi-lagi aku hanya tertawa kecil.

“Ha, berhentilah tertawa. Aku serius. Disekolah banyak sekali pria yang mengincarmu. Aku takut mereka mengganggumu nantinya. Kalau kau bilang kau punya orang yang kausukai, aku jadi bisa menonjok wajah mereka satu-satu.”

Entah mengapa tiba-tiba aku jadi cengeng, rasanya air itu begitu saja jatuh ke pipiku.

“Ah, hujan ya?” tanyaku sambil menghapus air dipiku. Untunglah keadaan cukup gelap untuk membuatnya tidak melihat airmataku.

“Enggak.” Dia menengadahkan kepalanya untuk mengecek langit.

Lalu menit-menit berikutnya kami habiskan dalam diam. Dia diam dengan jawaban yang belum dia dapatkan, sementara aku diam dengan berusaha memberinya jawaban melalui airmataku.

“Kalau suatu hari kau punya pacar, atau orang yang sangat kau sukai, bilang padaku. Aku mau memastikan kalau dia cukup baik untukmu.” Ucapnya akhirnya, sebelah tangannya terangkat dan mengusap puncak kepalaku lembut, tanpa matanya melihatku. Syukurlah, karena aku sendiri sedang sibuk menunduk dan menahan tumpahan sesak di dada yang minta dikeluarkan lewat mata.

Bagaimana aku bisa mengatakan hal begitu pada orangnya langsung?

Bahwa bagiku, kau adalah pacarku yang tidak mau kudapatkan karena terlalu berharga. Aku tidak mau rakus. Mencintaimu saja sudah cukup. Tidak mulu harus memiliki hanya untuk menyadari kalau kau ada disini setiap saat. Melimpahiku dengan berkah paling besar yang tak kuyakin aku pantas mendapatkannya.

Aku tidak akan pergi kemana-mana. Apalagi terlalu jauh. Hanya akan tetap disini, bersyukur karena ada orang sepertimu disampingku.

Mungkin ini terdengar membual dan mustahil, tapi bagi orang sepertiku, mencintaimu saja sudah cukup.

Dan akan selalu kusimpan hal seberharga dirimu cukup dihatiku saja. Tidak akan membiarkannya keluar dari mulutku.

“Kau… berharga.” Itulah kata-kata yang diteriakan airmataku.

Ps. Inspired by lee eun mi’s song “i have a lover”