#FiksiLaguku Dear Mom

Dear Mom

Orang yang memikirkanku dahulu daripada dirinya sendiri..
Orang yang bertanya apa aku sudah makan saat dirinya belum dapat sesuap pun..

Dialah orang yang pertama datang kepikiranku malam ini. Malam sepi dimana aku terbaring lemah digerogoti demam tinggi sendirian.
Air mataku mengalir mengingat bagaimana Mamah akan mengusapi punggungku dengan minyak angin sambil mengomel kalau seharusnya aku menjaga kesehatanku.
Bagaimana Mamah akan menyiapkan bubur ayam kesukaanku pagi harinya.

Orang itu lah yang sedetik tadi menelfonku. Dan bertanya dengan gusar apa aku sudah makan obat.
Yang barusaja berkata kalau lebih baik aku pulang kampung agar cepat sembuh.

Mom, what should i do? I think im still so lack and fearful..  cant do anything without holding your hand.
Though i cant say it often,
I love you….

#fiksilaguku
Snsd – Dear Mom

Fix you

Aku terduduk lemas dikursi belajarku, menatap keluar jendela. Dimana bulan purnama bersinar angkuh.

Aku tidak pernah berpikir kalau ternyata hati manusia itu begitu mudah berubah. Tidak kusangka orang-orang yang kemarin masih mengucap selamat pagi sambil tersenyum lebar, hari ini menatapku penuh sindir dan nyinyir.

Hanya dalam satu hari, semua orang yang kukira adalah temanku, merubah menjadi pembenciku.
Ternyata benar, kalau seseorang begitu mudah memberikan sebuah pertemanan, maka sebuah permusuhan akan lebih mudah mereka berikan.

Hatiku hancur. Lebur. Padahal kukira aku akan sedikit dikuatkan oleh mereka-mereka para ‘temanku’. Yang dari dulu mengumbar kebaikan terhadapku.

Ayahku memang baru saja terkena kasus korupsi. Dan sedetik setelah berita itu tersebar, semua orang didunia seolah tidak mau lagi melihat keberadaan keluarga kami.

Aku marah pada ayah. Tapi aku lebih marah pada mereka ‘teman-temanku’. Yang tega sekali mengucilkanku disekolah. Padahal, kan bukan aku yang korupsi, aku bahkan tidak menyangka kalau ayahku yang sudah menjabat di pemerintahan bertahun lamanya itu tega berbuat demikian.
Tapi tidak ada yang mau mengerti aku. Semuanya sama. Jijik padaku.

Nyaris saja sebulir air mataku jatuh tak terbendung. Tapi tentu, aku tidak akan menangis lagi. Terutama malam ini. Yang mana seharusnya aku berada di tengah-tengah pesta ulang tahunku yang ke-18.

Aku mematikan lagu di ponsel lalu mencopot earphone. Seketika membuat kericuhan musik rock yang kusetel padam tak tersisa.

Tapi kemudian, sebuah suara mengisi keheningan itu. Sebuah petikan gitar.
Aku terduduk kaku.
Saat sebuah suara mengalun di telingaku..

‘when you try your best but you dont succeed, when you get what you want but not what you need… When you feel so tired but you cant sleep.. Stuck in reverse…

… When the tears comes streaming down your face.. When you love someone but it goes to waste…
….
Lights will guide you home.. And ignite your bones.
And I will try to fix you~~”

Aku membekap mulutmu erat. Menahan pekikkan tak tertahan bersamaan dengan air yang membuncah dari mataku. Aku melongok ke bawah. Tepat dimana sekarang seseorang sedang duduk di rumput sambil memainkan gitar.
Aku berlari cepat kearahnya. Yang sudah pasti sedang bernyanyi untukku.

“Damar..” panggilku tercekat. Dia mengangkat wajahnya. Sahabatku yang berperangah buruk itu menaikan sebelah bibirnya, seakan terlalu berat kalau harus mengangkat keduanya.

“Hahhh… Orang yang punya hajat malah bengong galau sambil mewek.” sindirnya. Sangat khas Damar.
Aku mendekat dan duduk dusampingnya.
“Damar.. Lo inget ultah gue..” ucapku terharu.
“Udah bertahun-tahun lo selalu merengek minta kado. Bisa, gue lupa?” dia betanya sarkastik. Tapi anehnya itu malah membuatku membuncah dalam suka.
“Gue gak punya doku..” kelakarnya karena aku hanya diam penuh haru.
“Suara lo fals banget.” aku menonjok lengan kurusnya.
Pria tinggi menjulang itu menyernyit kesal.
“Bisa, lo gak nonjok gue??”
Aku hanya tertawa…

Dan detik-detik berikutnya, hanya kami habiskan dengan diam merenung. Saling menyelami pikiran masing-masing.

“Mar…” panggilku.
“Kok lo masih sudi deket gue?” tanyaku, tak tahan dengan rasa penasaran yang terus mendesak.
“Kalo lo lupa, rumah kita sampingan.. So, walau gue gak pengen, terpaksa. Hhh…” si kerempeng itu menjawab cuek.
Aku memberengut.
“Maksudnya, lo sampe nyanyiin lagu buat gueeee.”
“Wow, lo geer ya, gak boleh gue nyanyi di teras rumah gue sendiri?”
“ihhh.. Gak bisa ya lo jawab bener, hah?” akhirnya aku hilang kesabaran. Lagian, gakan ada yang bisa nahan kesabaran buat si congcorang ini.

“Naya.” dia memanggil. Tiba-tiba. Membuatku terkejut saja.
“Apa?”
Diamnya yang hanya beberapa detik itu sukses membuatku senewen.
“Apaan sih?” kataku gemas.
“Gak. Lo pulang gih.” di berdiri, dan dengan isyarat menyuruhku ikut berdiri. Dengan terpaksa aku menurut.
“Lo jalan sana.” Damar mendorong punggungku dengan cepat.
“Apa apaan pula, sekarang gak boleh gue duduk di teras gue?” dengusku kesal. Tapi tak urung akhirnya berjalan juga menjauhinya.
“Tengok kebelakang, Nay.” perintahnya lagi.
Aku merengut sambil berbalik, “Ok, lo udah mulai gil-” tapi belum sempat aku selesai mengomel, aku sudah dikagetkan oleh si congcorang itu.
Dia sudah berdiri tak jauh dariku.

“Lo bisa liat gue kan? Ya, gue akan selalu ada dibelakang lo. Seberapa banyak pun punggung yang berbalik dari lo. Gue akan tetap ada dibelakang lo.” ucapnya tersendat-sendat. Terhalang gengsinya kurasa. Tapi aku tak peduli. Karena barusaja, orang yang selama ini selalu menjadi sumber amukan dan kekesalanku, mengatakan hal termanis disaat terpahit dalam hidupku.

“Maksud gue. Ya.. Rumah lo kan deketan sama rumah gue. Oh ok bye. Gue pergi. Bengong aja lo seharian.” omelnya pada dirisendiri lalu berbalik dan tergesa-gesa berjalan menuju rumahnya. Meninggalkanku yang masih dalam keharuan mendalam.

Thanks God. Tidak semua berbalik membenciku.
Thank Damar. Lo emang damar, ya. Terang. :’)

Jin – Gone 너만 없다 lyric and translation

English Translation:
In that space where memories linger
Still as warm on my fingertips
You are here, here
Your scent, your face
Please, look at me, look at me, look
at me
I can feel you, like this, feel you, feel
you
Struggling to catch your expressions
Struggling to catch your smiles
You, who I struggled to understand
In the place where we were together
In the moment where I resembled
you
When it felt too good being soaked
in the rain
You are gone, gone
How am I supposed to erase you
alone and live
In those moments where we once
walked together
Like that, the things we made beside
each other
Even the memories, even those
regrets
Lingered there with me, missing you
so much
Please, look at me, look at me, look
at me
As ever, I can feel you, feel you, feel
you
Merely resembling your words
Merely resembling your smiles
Merely resembling you
In the place where we were together
In the moment where I resembled
you
When it felt too good being soaked
in the rain
You are gone, gone
How am I supposed to erase you
alone and live
When I miss you so much
Your name, which I was barely
allowed to speak, can’t be erased
My name, only used by you, is
asleep here
In the place where we were together
In those moments where we could’ve
walked together
I’m holding onto myself alone
In this place, even our future, my
wishes have stopped
I’m standing here and you are gone
Romanized:
Gieogi meomuldagan geu jarie
Son kkeute namainneun ongiedo
Niga itda itda
Neoui hyanggi neoui eolgul
Jebal nal bwa nal bwabwa nal
bwabwa
Na ireoke neol neukkyeo neol
neukkyeo neol neukkyeo
Aesseo jabeun maltu aesseo jabeun
miso
Aesseo jabeun neonde
Uri hamkke itdeon geu gonggane
Naega neol darmagadeon geu
sungane
Bissogeul geunyang georeodo neomu
johatdeon
Niga eopda niga eopda
Eotteoke na honjaseo neol jiugo sara
Hamkke georeogadeon geu sigane
Geureoke mandeureogadeon
Chueokkkajido miryeonkkajido
Meomun jarie nan seo itda neomu
geuriwo
Nal bwabwa nal bwabwa nal bwabwa
Na ajikdo neol neukkyeo neol
neukkyeo neol neukkyeo
Gyeou darmeun maltu gyeou
darmeun miso
Gyeou darmeun neonde
Uri hamkke itdeon geu gonggane
Naega neol darmagadeon geu
sungane
Bissogeul geunyang georeodo neomu
johatdeon
Niga eopda niga eopda
Eotteoke na honjaseo neol jiugo sara
Neomu geuriwo
Gyeou heorakdoen neoui ireum jiul
su eobseo
Neomani bureun naui ireumi yeogi
jamjago isseo
Uri hamkke itdeon geu gonggane
Hamkke georeosseoya hal sigane
Na honja butjapgo isseo
Uri miraedo naui baraemdo
meomchun jarie
Na seoitgo neoman eopda

To be forever

Dan akhirnya aku mengerti bagaimana sebuah vonis dari dokter bisa membuatku seolah kehilangan arah dijalan yang ku rancang sendiri. Kehilangan keberanian dan kepercayaan diri didalam kesempurnaan hidup yang kubuat sendiri.

“Kau sangat terlambat memeriksakan keadaanmu Nona, kini kanker yang tumbuh didalam rahimmu bahkan sudah menyebar ke kantung kemih dan ginjalmu.” Lanjut dokter itu dengan wajah muram. Seolah ikut merasakan hatiku yang berkecamuk.
Begitu, jadi itulah alasan mengapa aku selalu merasakan sakit tak tertahan saat buang air kecil dan juga pinggulku yang seperti diremukan saat aku telat datang bulan. Setelah membiarkannya berlanjut untuk waktu yang teramat lama, barulah aku sempatkan pergi ke dokter.
Kanker rahim. Penyakit yang sama sekali tidak pernah terlintas dikepalaku.
Kini malah dikatakan telah menggerogoti nyaris seluruh rahim dan organ dalamku.
Dan, sudah pasti, dengan adanya kanker rahim itu. Aku sudah bukan lagi wanita normal.

Pikiranku beralih pada dia. Pria yang minggu kemarin menjanjikan acara lamaran untukku. Dia memang bukan tipe pria yang suka membuat kejutan. Tapi dia adalah pria yang kucintai. Dan juga mencintaiku.
Aku sangat percaya diri dengan cinta kami.
Tapi tidak untuk saat ini. Aku kehilangan muka dan harga diri walau untuk sekedar muncul didepannya.
Milan.. Apa yang akan kita lakukan. Masihkah kau ingin menikahiku?
***

Aku baru saja keluar dari kantorku. Saat seorang pria paling tampan didunia menghampiriku dengan sebuket bunga tulip putih ditangannya.
Pria itu tersenyum cerah lalu menyerahkan bunga itu padaku.
“Selamat ulang tahun sayang..” ucapnya lembut ditelingaku. Aku tersenyum penuh haru. Tidak bisa mengatakan apapun selain gumaman tak jelas.
Kulihat Beberapa teman dekatku yang tadi berjalan tak jauh dariku bersuit menggoda sambil menggumamkan kata-kata kalau aku adalah wanita paling beruntung didunia.
Mereka benar. Tapi mereka juga salah.

“Tumben kau kesini tidak telfon dulu.” ucapku sambil berjalan disisinya yang merangkul pinggangku erat.
Dia menaikan sebelah ujung bibirnya.
“Dito bilang wanita kadang harus diberi kejutan. So here i am.” ucapnya tenang lalu membukakan pintu mobil untukku.
“Kita mau kemana?” tanyaku penasaran. Karena sepertinya dia tidak akan mebawaku langsung ke rumah.
“Just an ordinary diner. Kurasa kita harus merayakan ulang tahun terakhirmu sebagai kekasihku.” Ujarnya dengan senyum lebar.
Aku tahu dia bercanda, tapi ditelingaku kini, itu terdengar seperti vonis kematian.
“Reesa?” tanyanya khawatir karena melihat wajahku yang berubah ungu.
“Maksudku, tahun depan kita kan akan menikah. Kita tidak akan hanya kekasih lagi.” lanjutnya sambil mengusap lenganku lembut.
Aku tersenyum lembut, “aku tahu, aku hanya… Terharu. Bagaimana rasanya menjadi istrimu nanti, Milan?” tanyaku sambil mengerling.
“Hahaha.. Kukira kau salah paham.” dia menghela nafas lega.

30 menit kemudian kami tiba disebuah warung nasi uduk favorit kami sejak masa kuliah dulu.
Kami duduk dibangku paling ujung yang mepet dengan tembok. Mpo Ratmi, sudah langsung mengerti untuk menyiapkan menu favorit kami. Karena sudah sering sekali kami nongkrong di warungnya.

Makanan yang kami santap, habis tak lebih dari lima belas menit setelah disajikan. Aku dan Milan memang sama-sama jago makan. Dan kami sama-sama tidak suka mengobrol saat makan.
“Kenyang.” serunya senang.

Seperti biasa, setelah makan malam, kami akan menghabiskan waktu berdua di atap warung Mpo Ratmi.
Duduk-duduk sambil mengobrol ditemani secangkir teh jahe andalan warung ini.

Aku menyandarkan kepalaku di bahunya.
“Milan..” panggilku pelan. Pandanganku lurus ke taburan bintang diatas kepala kami.
“Mm?” Milan bergumam tak kalah pelan.
Aku terdiam sesaat. Ragu apa harus mengatakan perihal pemeriksaanku tadi. Tapi aku tahu Milan benci kalau rahasia-rahasian.
“Kamu tahu kanker rahim, kan?” tanyaku akhirnya, berusaha menyembunyikan getar mengiris dalam suaraku.
Milan terperanjat sedikit, kaget dengan topik yang kuangkat tiba-tiba.
“Tahu. Kenapa?”
“Aku kena kanker itu.” jawabku singkat. Bisa kurasakan bahu Milan yang mengeras dibawah kepalaku.
“Lan?” tanyaku meminta jawabannya. Sebagian diriku takut tapi sebagian lagi pasrah. Kalau dia memutuskan untuk meninggalkanku, aku mengerti. Walau tentu saja aku akan merasakan kehancuran dua kali dalam seharian ini.
Dia duduk tegak.
“Aku kaget, Rees.” ucap Milan akhirnya.
“Rees. Kau pasti kesakitan.. Walau sedikit saja, apa aku bisa mengambil alih kesakitanmu?” tanyanya terluka.
Aku menggigit bibirku, tapi tidak bisa menghentikan air yang berjatuhan dari mataku.
Milan. Pria bodoh ini. Kutanya apa dia masih mau pada penyakitan sepertiku, tapi dia malah mau mengambil kesakitanku itu.
“Maksudku. Apa kau masih mau denganku yang sudah tidak punya harapan ini, Mil?”
Dia terdiam,
“bagiku, selama kamu masih ada disini, disampingku, maka harapan itu masih membumbung tinggi, Rees.”

Dan tanpa tambahan kata, kami tahu kami masih akan bersama.
Mencoba sebisa mungkin untuk menjadi selamanya…

Nb. Cerpen ini diikutsertakan pada event thumbstory “Love & Hope”

Dimasa depanmu

Hujan semalam yang tak hentinya mengguyur atap rumahku akhirnya berakhir tepat dengan terbitnya matahari senin pagi ini. Aku melongok ke luar jendelaku. Tepat ke pot-pot bunga aster dan daun gelombang cinta yang berjejer rapi menghadap gazebo samping rumah.

Malas sekali rasanya harus bangun dari tempat tidurku. Apalagi harus mandi ditengah suhu sedingin ini. Kalau bisa, pasti aku sudah kembali merajut mimpi semalam tadi yang tak sempat kuselesaikan karena bunyi kokokkan si jago kesayangan ayahku keburu menginterupsi dengan suaranya yang lebih cetar dari suara weker yang kusetel maksimum.
Ah, ayam sialan!
Sayangnya aku tetap harus bangun dan pergi kesekolah.
Tapi kuputuskan untuk meng-skip mandi pagi saja untuk hari ini. Toh itu tidak wajib kan? Sebagai gantinya aku akan menyemprotkan minyak wangi Kakakku untuk menghalau bau iler di badanku.

Jalanan becek seakan sudah menjadi pemandangan rutin di musim hujan seperti ini. Dan hal itu adalah hal kesekian yang paling tidak kusukai. Sangat tidak kusukai. Penyebab sepatuku basah dan sebentar lagi pasti bau apak. Membuat kerja kerasku mencucinya tak berbekas sama sekali.
Dan seakan ketidaksukaanku akan genangan air itu belum cukup besar. Tepat saat aku akan berbelok di pertigaan menuju sekolahku, sebuah mobil avanza silver lecek melintas diatas genangan air itu yang tentu saja sukses membuat seragamku kuyup sama sekali.
“ARGGGGG SIALANNN WOIII TANGGUNG JAWAB WOYYYY!!!” teriakku penuh amarah lengkap dengan tanduk merah kecil sudah bertengger dikepalaku saat ini.
“WOIIII..” teriakku tak berguna sama sekali, karena si avanza tidak tahu aturan itu sudah menghilang ditelan jalanan.
“Dasar tidak tahu aturan.” Gerutuku tiadak ada habisnya.
“Sani sabar San sabar.” Ujar sebuah suara sukses membuatku terperanjat. Aku menoleh kebelakangku dan melihat seorang pemuda sepantaranku tengah menahan tawa gelinya.
“Eh hoi,” sapaku padanya, tak lupa dengan sebuah senyum lebar merekah di bibirku. Ternyata daritadi aku tidak berjalan di trotoar ini sendirian.
Dan aku senang sekali melihatnya disini. Walau tidak bisa membuat seragamku kembali kering, setidaknya kehadirannya bisa menghiburku dan menyusutkan tanduk merahku yang kian mencuat tinggi itu.
“Dewa, kok gak bilang-bilang kalau daritadi berjalan di belakangku??” gerutuku nampak seperti gadis kasamaran, lengkap dengan cengiran lebar yang selalu tergaris di wajah.
“Yah.. Habis kau sibuk sekali dengan rok sekolahmu, sih.” Dia mengagkat bahunya singkat, lalu meraih tas punggungnya dan meraih kain kecil berwarna putih, lantas menyerahkannya padaku.
“Gak bakal ngeringin bajumu sih, tapi lumayan lah gak akan kuyup banget bajumu.” Ujarnya saat aku meraih handuk kecil itu.
“Makasihh..” seruku girang. “Gak sekalian buatku ini handuknya?” tanyaku tak tahu diri. Bercanda sih, tapi ngarep banget.
“Yeyyy dikasih hati malah minta jantung.” Cibirnya sambil terawa kecil.
“Wah, kalau aku dikasih hatimu aku udah bersyukur lho, mana mana.” Seruku semakin menjadi. Persetan dengan image atau jual mahal sebagai seorang cewek. Aku adalah aku. Dan aku bukan orang yang sok jual mahal.
“Gak ah, ntar dijadiin bubur ati, lagi.” Dia meleletkan lidahnya.
“Ya gak akan lahhh.. masa barang kesayangan dijadiin bubur siih..” ujarku gemas.Terkadang merasa sekali kalau aku itu cewek pecicilan. Tapi prinsipku tetap menjadi yang utama; ‘fight for what i want’. Dan ini kuanggap sebagai usaha untuk mendapat yang kuinginkan. Dia.
Dia hanya terkikik geli.

Mungkin ini sangat anomali dan bahkan mustahil. Tapi beginilah kami, aku dan dia. Didunia ini, mungkin tidak akan kau temukan lagi seorang perempuan dan seorang lelaki malah jadi teman akrab seperti kami setelah sebuah penolakan cinta dramatis. Iya, sebulan lalu, aku memang baru saja menyatakan perasaanku padanya.

Hari itu, mendadak langit diatas sekolah kami begitu cerah dan menyengat. Membuat aku dan teman sekelasku yang sedang berada ditengah lapang untuk bermain basket merasa seperti dibakar hidup-hidup saja.
Saat itu, entah mendapat keberanian darimana, aku berpikir untuk menyatakan cinta.
Namanya Dewa, sama sepertiku dia juga baru kelas 10 yang baru saja selesai MOS. Sejak pertama melihatnya, aku memang belum tertarik. Tapi seolah sudah menjadi takdir, dia selalu ada saat aku mendapat hukuman karena lupa membawa sesuatu yang diperintah senior hingga akhirnya aku harus menggosok toilet. Dan dia selalu ada disana; sama-sama dihukum. Hanya saja dia duhukum karena tidak bisa bernyanyi.

Dewa, dia memang lelaki yang sangat kaku. Nyaris seperti bapak-bapak usia 40-an yang workaholic, atau dalam kasusnya studyholic. Tak heran dia mendapat peringkat nomor satu saat tes penerimaan siswa baru di SMA ini.
Tapi tidak, dia tidak kaku saat kau sudah mengenalnya lebih dekat. Dia menyenangkan. Tepatnya selalu bisa menyenangkan hatiku. Dia selalu bersedia membantu semua orang yang memang membutuhkannya. Dia juga membantuku mengangkat ember dan mengerjakan soal fisika saat aku diseret Bu Fidia kedepan kelas karena keasikan baca komik. Dia pahlawan di kelas kami. Sangat banyak gadis-gadis yang mengejarnya. Bahkan kakak kelas juga ikut mengantri.
Tapi hanya aku yang berani mengejarnya terang-terangan. Bahkan menyatakan cinta didepan khalayak banyak.

Dewa baru saja berhasil melakukan shoot three point. Semua orang berteriak. Semua gadis lebih tepatnya. Dan saat itulah aku merentangkan tanganku di udara, berdiri dari bangku penonton dan bersorak heboh,
“DEWAAAAAAAA AI LAP YUUUUU!!” teriakku lantang, dan menantang ingin disoraki. Dan benar saja, sedetik kemudian terdengar sorakan seluruh teman sekelasku yang ber ‘huuuuu’ ria kearahku. Sementara Dewa hanya mematung dengan kekakuannya yang biasa.

Saat kelas usai, aku menemuinya yang berjalan dibelakang murid lain.
“Hei,” sapaku malu-malu tapi tidak berhasil menyembunyikan kegiranganku.
“Ng.. ya?” tanyanya heran, kaku, dan kikuk.
“Jadi apa jawabanmu??” tanyaku tak tahu malu.
“Ng.. sori, San, tapi aku tidak bisa.” Jawabnya penuh sesal. Aku mengangguk mengerti.
“Iya gapapa, terus-terus?” aku meminta kelanjutan jawabannya dengan semangat.
“Terus apanya?” dia menatapku heran
“Yah.. aku udah terlanjur confess didepan orang-orang nih, malu juga kali.” Aku memukul pundaknya pelan.
“Sorry..” dia berujar tak kalah pelan dari suara tawon yang sedang terbang.
“Eh eh gapapa gapapa, jangan membebanimu ya pengakuanku barusan itu. Tapi kita masih bisa jadi temen kan? Maksudnya temen yang harap-harap cemas kapan kau akan menerimaku. Hehe..” candaku setengah serius. Bahkan sebenarnya sangat serius.
“Tentu.” Jawabnya sedikit rileks.
“Ngomong-ngomong maaf lho, aku bikin kamu sekaget tadi. Haha.. ya udah lah ya, yuk ke kelas bareng.” Ujarku sambil menarik ujung baju olahraganya.

Dan ya… aneh tapi nyata, setelah itu kami malah benar-benar menjadi teman. Dan walau ditolak, tapi aku sukses membuat gadis-gadis lain yang naksir Dewa iri padaku. Karena hanya aku yang bisa sukses mendekatinya, walau hanya sebagai teman yang harap-harap cemas. Tapi disekolah, tidak ada gadis lain yang bisa ngobrol nyaman, nyeleneh, bahkan aneh sepertiku dengan Dewa. Ah, kalau begini terus aku sungguh-sungguh harap-harap cemas, nih. Dewaaaa….
***
Suasana siang ini begitu mengaharu biru. Antara bahagia, bangga, dan haru. Semua murid yang baru saja menerima surat kelulusan berteriak, menangis, dan tertawa bersama. Termasuk juga aku.

Bangga dan bahagia begitu menyesakkan dadaku. Rasanya kehabisan nafas saja tidak bisa cukup menjelaskan bagaimana senangnya aku hari ini. Saat ini. Tapi ditengah kesenangan itu, tentu saja ada ketidaksenangan. Aku akan berpisah dengan teman-teman yang selama tiga tahun ini mengisi hari-hariku dengan berbagai macam rasa.
Termasuk Dewa. Kami akan berpisah. Benar-benar berpisah.

Sejak sebelum UN, bahkan Dewa sudah mengatakannya tiga bulan sebelumnya, bahwa dia akan meninggalkan kota ini untuk melanjutkan kuliah. Aku mengerti, dari dulu, cita-citanya memang masuk ke ITB jurusan astrofisika. Dan kini dia sudah sangat dekat dengan cita-citanya. Dia akan pindah ke kota Bandung. ratusan kilometer dari kota kami Yogyakarta.

Kalau menuruti ego sih, tentu saja aku akan menghadang. Bahkan sudah kupastikan aku akan tidur diatas rel kereta api yang akan membawanya jauh dariku.
Tapi tentu saja aku tidak melakukannya. Karena aku masih sangat menyukainya, bahkan kini cinta monyetku sudah menjelma menjadi cinta manusia dewasa. Tiga tahun bersama Dewa membuatku semakin tidak mau kehilangannya. Biarlah kami tetap menjadi teman yang harap-harap cemas. Yang penting dia disisiku.

Tapi, aku juga tahu kalau aku tidak boleh menghalangi Dewa dari masa depannya. Haruslah aku juga mencintai Dewa dan masa depannya kelak. Walau mungkin dimasa depannya itu tidak ada lagi aku sama sekali.

Dewa, baiklah, kuijinkan kau pergi kesana. Merajut masa depanmu yang cerah gemilang. Tapi jangan pernah lupakan kalau aku pernah ada dimasa lalumu. Iya aku, Sani. Teman harap-harap cemasmu.

“Hei…” seseorang meremas bahuku ketika sebutir air meluncur bebas dari mataku. Dan jatuh tepat disepatuku.
Dewa memandangku haru. Dia tentu sangat senang mendapat nilai UN paling baik di kota ini. atau bahka di negri ini. Semoga.
“Baru kali ini aku lihat kau nagis, San. Saking terharunya ya? Berterimakasihlah padaku yang rela bermalam-malam mengajarimu menjawab soal-soal latihan UN.” Candanya sambil meremas bahuku kian keras.
Andai dia tahu tangisku yang jarang ini bukan untuk kelulusanku melainkan untuknya.
“Makasih lho tutornya, Dewa Yuranata yang paling top markotoooppp.” Ucapku meladeni candaannya. Dia terkiki geli. Haahhh… kapan lagi kira-kira aku bisa menatap kikikanya, senyumannya, dan tawanya yang renyah itu?
“Tlaktir aku gudek mbo Katni ya?” pintanya menyebut salah satu penjual makanan di kantin kami.
Aku hanya mengangguk kecil.
“Sekarang ya? Aku lapar.” Dia mengusap perutnya perlahan. Lagi-lagi aku mengangguk. Dan kami pun menjauh dari kerumunan orang-orang penuh haru biru itu. Menuju sebuah kantin yang akan kami tinggalkan tak lama lagi.

05 Juni 2012
Dan hari ini pun tiba juga. Hari dimana aku dengan kakiku sendiri melepas Dewa pergi. Dewa-ku. Keluar kota yang sama sekali tidak kuketahui bagaimana wujudnya kecuali kalau kebetulan muncul di tivi.
Sore ini stasiun tugu padat oleh manusia yang akan meninggalkan kota Yogyakarta ke tempat tujuan masing-masing.
Dan disana jugalah aku dan Dewa berada. Duduk di bangku besi diantara ratusan orang lainnya yang menunggu kereta tujuan kota kembang Bandung.
Aku duduk bersandar di bahu Dewa. Sementara pemuda itu sibuk membalas Sms keluarganya yang berpesan ini itu. Mereka tidak mengantar Dewa Karena tepat hari ini juga adalah acara lamaran kakak tertua Dewa. Mas Yuda.
Aku sendiri juga sibuk. Sibuk mensugesti diriku sendiri kalau semuanya akan baik-baik saja. walau jauh, toh aku akan tetap menjadi temannya Dewa. Teman harap-harap cemasnya Dewa.
“Ah, San, keretanya datang.” Seru Dewa begitu mendengar bunyi sirineu yang sama sekali luput dari pendengaranku.
Spontan aku menegakkan tubuhku dan menoleh pada Dewa.
“Wah, ayo.” Aku berdiri dengan sebelah tangan menggenggam jaket parasit Dewa.
“Iya, bentaran aja, tunggu yang lain naik.” Seru Dewa yang malah menepuk bangku bekasku tadi, menyuruhku untuk kembali duduk.
Dengan heran, akhirnya kuturuti juga pemuda itu.
“San.” Panggilnya dengan suara yang sangat jarang sekali kudengar. Begitu serius dan amat pria.
“Hah apa?” tanyaku bingung.
“Aku akan sering kesini lho.” Ucapnya mencoba bercanda. Membuatku terpaksa harus tertawa.
“Iyalah, kan kau tetap warga negara Daerah Istimewa Yogyakarya ini.” cibirku bercanda seadanya.
Hening sesaat, sebelum akhirnya dia kembali berujar.
“Sani, kok kau bisa sih jatuh cinta sama orang macam aku.”
Aku menatapnya semakin heran, “hah maksudnya?” tanyaku penuh tanda tanya.
“Iya, orang kayak aku, pengecut, gak punya nyali.” Dia mengucapkan setiap suku katanya dengan bold kentara.
Aku hanya diam saja. Reaksiku kalau tidak mengerti ucapan lawan bicara.
“Ngungkapin perasaan aja gak bisa.” Kini dia melempar pandangannya.
“Jadi Sani,” dia kembali menatapku yang masih heran.
“Aku udah gak mau jadi teman harap-harap cemasmu lagi. Aku udah berubah pikiran. Dari dulu sebenarnya. Tapi aku tidak berani ngungkapin. Maaf ya..” dia mejelaskan. Aku terpaku, tapi dia tidak tahu kalau perkataannya barusan membuat detak jantunggu menggila layaknya atlit sepak bola.
“Sani?” dia melambaikan tangannya didepan wajahku.
“Jadi kita gimana nih?” akhirnya aku bisa menguasai diri.
“Ya gitu, entahlah, yang jelas, saat ini perasaan kita sama. Kecuali kalau kau sudah tidak menyukaiku lagi.” Dia menjawab dengan cemas.
“Bodoh, ya jelas tidak sama lagi lah, sudah semakin besar dan banyak tahu.” Aku memukul pundaknya.
Dia tersenyum haru, bahagia.
“Ya udah, kita LDR ya?” dia bertanya ragu, tampak malu. Rasanya aku sedang dihempaskan dari langit-langit gedung aula besar sekolahku saking tidak percaya. Berkecamuk hebat sekali pikiran dan perasaanku saat ini.
“Wa, boleh nangis dulu gak?” aku membekap mulutku dan mataku.
“Aku gak pernah liat kamu nangis, jadi aku sepertinya gak akan suka liat kamu nangis. Tapi kalau itu tangis bahagia.. boleh.” Dia mencoba menenangkanku yang sudah mulai terisak lembut.
“San, kereta aku udah mau berangkat lho, udahan dong nangisnya.” Pinta Dewa dengan memelas. Akhirnya aku menyusut wajah kuyuku dan berusaha tersenyum sebisanya.
“Kenapa kita harus LDRan sihhh.. kamu kuliah di UGM aja napa??” tanyaku berajuk. Untuk pertama kalinya merajuk sebagai seorang kekasih. Dari seorang Dewa. Dewa-ku.
“Tuh kan tuh kan, dikasih hati malah minta jantung.” Dewa mencibir. Lalu kami tertawa bersama. Tawa yang baru kali ini terasa menyesakkan. Bahagia karena aku bukan lagi teman harap-harap cemasnya. Tapi disaat bersamaan harus melepasnya menjauh dariku.

Tapi sungguh, aku tidak akan meminta jantungnya.
Aku juga tidak akan meminta atau menjegal masa depannya.
Karena, ssttt.. siapa tahu aku akan tetap dan selamanya akan ada dimasa depan Dewa.
Semoga.

Considerate

image

just because i’m strong doesn’t mean i can’t feel the pain.
i also hurt when i get rejected
i also cry when i get disappointed
i feel pain too
dont make me feel like an uninvited rubbish…

Regret in secon

Seakan dipaku, Arik terduduk tanpa
bisa bergerak sedikitpun selepas Soni
meninggalkannya sendiri di sebuah
kafe tak jauh dari rumahnya.
Pikirangnya melayang-layang ke
pembicaraan antara dirinya dan
temannya tadi.
“Rik, sori kalau Gue ikut campur soal
hubungan Lo sama Nara. Tapi Gue
bilang ini karna Lo temen gue.” ujar
Soni tenang.
“Iya, emang ada apa sama Nara?”
tanya Arik penasaran.
“Hh.. Kemarin Gue liat dia jalan
sama cowo.” Soni menjelaskan masih
dengan intonasi tenang, dia meneliti
wajah Arik demi mengetahui reaksi
pemuda itu.
“Oh.. Mungkin itu kakaknya Nara,
Son.” jawab Arik kalem. Walau Nara sama sekali tidak pernah mengatakan kalo dia
punya kakak pria.
“Nara punya kakak cowo?” tanya Soni
tepat sasaran.
Arik hanya diam. “Atau mungkin dia
temennya di sekolah.” Arik masih
mencoba berspekulasi.
“Semesra itu? Pake gandengan
tangan?” lanjut Soni.
“Ya namanya juga anak Sma Son. Jadi
wajar lah..” Arik melempar senyum
pada Soni, berusaha menutupi
debaran hatinya yang tidak menentu
setelah mendengar berita yang taj pernah ia duga-duga. Walau tentu, kepercayaannya pada Nara masih seratus persen. Tapi disisi lain, Arik mengenal Soni dengan baik, teman kuliahnya itu tidak mungkin asal bicara.
“Emang Lo liat
Nara dimana Son? Kapan?”
“3 hari yang lalu, di bioskop pas Gue
lagi jalan sama Mira” jawab Soni
pendek.
“Mira nyuruh Gue buat gak ikut
campur, tapi Gue gak bisa diem liat
temen Gue diselingkuhin dan
dibegoin kayak gini.” lanjut Soni.
“Son, Lo liat dia lagi sama cowo
bukan berarti dia lagi selingkuh dong.”
tukas Arik masih membela sang pacar.
“Lo pikir Gue gak bisa bedain yang
mana yang jalan sama temen, dan
yang jalan sama pacar? Rik, sebagai
teman Gue cuma mau ngingetin. Gue
tahu Lo sayang banget sama Nara. Tapi
Lo musti sayang sama diri Lo juga.” Soni mengingatkan.
“Gue pamit ya.” Soni menepuk pundak
Arik sebelum dia pergi.

Sampai saat inipun Arik masih belum
percaya dengan apa yang barusan
didengarnya.
Nara, gadis polos berusia 5 tahun
lebih muda darinya, selingkuh? Nara
yang sangat Arik cintai itu? Gadis
pertama yang mampu mencuri
perhatian dan pikirannya begitu
banyak itu? Nara-nya? Nara milik Arik
itu?
Jantung Arik seolah jatuh dari
tempatnya tergantung.
‘Tidah mungkin..’ batin Arik.
Dengan langkah gontai Arik kembali
ke rumahnya.

Malamnya Arik putuskan untuk pergi
menemui Nara. Hatinya tak tenang
setelah pembicaraannya tadi siang.
Dia benci untuk mencurigai pacarnya
sendiri. Lebih baik tanyakan
langsung.
‘Nara, kamu ada dirumah? Bisa keluar
sebentar?’
Setelah selesai mengetik, Arik segera
menekan tombol send.
Tak lama kemudian Nara keluar dari
dalam rumahnya. Walau hanya
mengenakan daster tidur
bergambang spongebob, Nara terlihat
bersinar dimata Arik.
“Kak Arik, ada apa kak?” tanya Nara
ceria begitu Ia sampai dibelokan
rumahnya tempat dimana Arik
menunggu. Nara tidak merasa heran
dengan kedatangan Arik yang tiba-
tiba, karna ini bukan kali pertamanya.
“Hm.. Enggak ada apa apa..” dusta
Arik seraya melempar senyum.
“Bohong.. Kak Arik tuh paling gak
bisa pura-pura tau..” Nara
menyipitkan matanya. Dengan hanya
melihat mata Arik yang sayu, tidak
seperti biasanya, Nara tau bahwa ada
sesuatu yang hendak dikatakan Arik.
“Kak Arik..??”
Arik menatap Nara dalam. Dia putuskan untuk menanyakannya secara langsung. “Hh.. Temenku bilang.. 3 hari lalu
dia liat Kamu nonton sama.. Cowok?”
akhirnya Arik buka suara. Nara
membulatkan matanya kaget.
“Hah? Kapan? Mana ada.. Aku sibuk
banget seminggu kemarin..” jawab
Nara tenang.
“Oh ya?”
Nara mengangguk beberapa kali.
“suer.” Ia membentuk huruf V dengan
jarinya.
Sebuah senyum merekah diwajah
Arik. “Syukurlah.. Mungkin temanku
salah lihat.” ujar Arik lega bercampur
senang.
Nara tertawa renyah. “Haha.. Jangan-
jangan Kak Arik mikir kalo Aku
selingkuh ya?” tanya Nara dengan
mimik sedihnya yang terlihat seperti
kelinci. Membuat Arik salah tingkah.
“Bukan begitu.. Maaf Nara..” ujar Arik
tulus. Justru karna percaya pada
Nara, Arik berani bertanya langsung
padanya.
“Ahaha.. Iya iya.. Nara tau..” Nara
tersenyum manis. “Yasudah..
Sekarang Kakak pulanglah.. Sudah
malam, nanti diusir kamtib, lagi.
Haha.” Canda Nara. Arik tertawa kecil.
“Haha.. Iya anak kecil, kakak pulang
dulu ya..” ucap Arik seraya
mengenakan helmnya.
Nara menggembungkan pipinya.
“Siapa yang anak kecil? Nara sudah
kelas 2 sma tau.. Huh!”
“Ahaha.. Iya tahu deh.. Sekarang
kamu duluan yang masuk rumah.”
Perintah Arik.
Nara hanya tersenyum lalu berlari
kecil dan masuk ke rumahnya.
Setelah memastikan Nara selamat
sampai ‘tujuan’, barulah Arik
melajukan motornya.

“Dari mana, Ra?” tanya Bapak saat
melihat Nara muncul diruang
keluarga.
“Dari warung, Pak” jawab Nara asal
sebelum Ia berlalu ke kamarnya.
Bug!
Nara menjatuhkan tubuhnya ke atas
kasur. Air mata bersalah menetes
dipipinya.
‘Maaf Kak Arik.. Maaf..’ gumam Nara
dalam hati.
Dia sungguh tidak bermaksud
membohongi Arik. Semua ini terjadi
begitu saja tanpa Nara sendiri yang
menginginkannya.
Sebulan yang lalu, tiba-tiba pemuda
itu datang. Pemuda yang katanya
telah dijodohkan dengan dirinya.
Awalnya Nara menolak dengan keras
perjodohan itu. Selain ingin mencari
pendampingnya sendiri, juga karena
Nara sudah memiliki Arik yang sangat
disayanginya. Tapi pemuda
bernama Andre itu tidak menyerah
dengan penolakan-penolakan Nara.
Karna kata Andre, dia sudah
menyukai Nara sejak pertama kali Ia
melihat Nara yang datang bersama
kedua orang tuanya untuk bertamu ke
rumah Andre yang memang
berteman baik. Kala itu Nara tidak
sempat melihat kedatangan Andre
yang baru pulang dari kampusnya
karna gadis itu sibuk dengan cake
yang tengah disantapnya. Tapi Andre,
dia langsung jatuh hati pada Nara.
Maka dari itu Ia meminta orang
tuanya agar mengatur perjodohan
untuknya.
Setelah dua minggu terus mengikuti
Nara kemanapun gadis itu pergi.
Akhirnya Andre berhasil mencuri
sedikit perhatian Nara yang memang tabiatnya mudah jatuh cinta. Andre sendiri
bukannya tidak tahu kalau Nara punya
pacar, tapi entah mengapa, dia
merasa kalau Nara tidaklah
menyayangi pacarnya itu seperti
layaknya seorang kekasih. Bagi Andre,
hubungan dan interaksi antara Nara
dan Arik seperti 2 orang canggung
yang tidak tau cara berpacaran.
Apalagi dengan sikap Arik yang kaku
dan cenderung seperti kakak.
Nara tidak pernah membicarakan hal
ini dengan Arik. Dia takut Arik
membencinya. Dia tak mau itu
terjadi. Baginya, arik sudah seperti
pilar untuknya, pilar pelindung yang
selalu ada untuknya, sebagai
pengganti Mas Rana yang meninggal
setahun lalu, tepat saat Nara baru
mengenal sosok Arik yang dikenalkan
Rana sebagai temannya.
Saat Nara merasa sangat terpuruk,
Arik datang padanya dengan seribu
kasih sayang dan senyum
menenangkan. Nara masih ingat
dengan apa yang dikatakan Arik waktu
itu.
‘Nara.. Mulai sekarang. Aku yang akan
melindungi dan menemanimu.’ ucap
Arik tegas seraya mengusap air mata
Nara. Seketika menghapus beban
berat dihati Nara.
Karna itulah Nara takut kehilangan
Arik. Nara takut dia akan kehilangan
satu lagi pilar yang menguatkannya.
Nara tahu itu egois. Tapi apa mau
dikata?

Sudah sebulan sejak kedatangan Arik
kerumahnya. Tapi Nara dan Arik tak
pernah lagi bertemu dikarenakan
kesibukan Arik sebagai mahasiswa
yang juga menjabat sebagai Asdos
yang mengharuskannya memberi
tutorial pada mahasiswa lain. Mereka
hanya saling berhubungan lewat sms
dan telfon.
‘iya aku udah pulang sekolah..
Kakak masih di kampus?’
Nara membalas sms dari Arik, tanpa
Ia sadara seseorang sudah berada
disampingnya.
“Ehem! Sms cinta ya?” tanya Andre
tanpa bisa menyembunyikan getar
cemburu dalam suaranya. Nara
terperanjat saking kaget.
“Kak Andre! Kayak hantu aja, datang
gak bilang-bilang.” bentak Nara kesal.
“Ck! Jangan panggil aku kakak. Itu
menjijikan.” tukas Andre.
“Tapi kan kamu lebih tua dariku.” Nara
membela diri.
“Tapi kan aku bukan kakakmu. Stop
panggil aku Kakak. Jangan samakan
aku dengan dia.” ujar Andre tak
senang.
“Huh! Terserahlah.” Nara merengut
sebal.
“Ra, jalan yuk?” ajak Andre
mendinginkan suasana.
“Ke mana?”
“Hm.. Bioskop?”
Mata Nara menyala riang, Dia
memang paling suka nonton film.
“Ayok kalo gitu.”

“Mira, Lo beli pop corn banyak amat.
Mau dijual lagi ya didalem?” tanya
Soni takjub melihat Mira kembali ke
sofa tunggu didepan teater 3 dimana
mereka akan menonton film.
“Sirik aja Lo. Kalau minta awas ya!”
ancam Mira sambil memeluk erat 4
bungkus pop corn ditangannya.
“Gue sumpahin sakit perut kalo Gue
gak dibagi.” Soni balas mengancam
dengan kejam.
“Huh!” Mira mendengus sebal lalu
duduk disamping Soni.
“Eh eh, Son, itu bukannya pacar
temen Lo yang waktu itu ya?” Mira
menepuk pundak Soni sambil
menunjuk 2 orang yang berdiri agak
jauh dari mereka. Soni membulatkan
mata kaget saat melihat ke arah yang
ditunjuk Mira. Dia melihat Nara dan
pemuda yang waktu itu. Soni melihat
si pemuda meninggalkan Nara dan
berjalan ke arah stan penjual
popcorn. Dan dengan tergesa Soni
mendatangi Nara.
“Nara!” panggil Soni dengan menjaga
intonasinya tetap stabil.
Nara terperanjat kaget. “Kak, Kak
Soni? A..ada apa?” tanya Nara terbata.
“Gue gak tau kalo lo udah outus sama Arik.” ucap Soni tajam. Embuat Nara seketika menatapnya nyalang.
“Well. Gue percaya Lo bukan cewek gak baik.
Dan Gue percaya Lo gak serakah.
Hidup itu pilihan, Lo pada akhirnya
tetep harus milih juga kan? Dan Gue
harep Lo cepet putusin pilihan Lo.”
Nara hanya diam terpaku.
“Arik, dia terlalu menyayangi Lo kalo
cuma buat Lo hianatin.” Soni pun
meninggalkan Nara dalam
keterpakuannya.

‘Kak Arik.. Bisa kita ketemu?
aku tunggu di kafe deket rumah
Kakak..’
Sebuah senyuman terlukis diwajah
Arik begitu Ia selesai membaca sms
dari Nara.
‘hah.. Padahal baru aja mau ngajak
ketemuan, eh malah diduluin. Hihi..’
batin Arik girang.
Saat memasuki kafe tersebut, dengan
mudah Arik dapat menemukan Nara,
karna gadis itu memilih meja yang
dekat dengan pintu masuk. Arik
tersenyum lebar sambil melambai,
yang dibalas Nara dengan senyum
kecil.
“Maaf, nunggu lama ya?” tanya Arik
membuka percakapan.
“Enggak kok..” Nara menjawab
dengan menunduk.
Arik merasakan ada sesuatu yang
tidak beres dengan Nara.
“Nar.. Kamu kenapa?” tanya Arik
lembut. Nara tak menjawab.
“Nara?” ulang Arik setelah beberapa
saat.
“Maaf.. Maaf Kak.. Maafin Nara..” hanya itu
yang dapat diucapkan Nara. Matanya sayu menancab di kedua manik mata Arik.
Deg!
Arik senang karna mengerti Nara
begitu besar. Arik senang karna tau
apa keingan gadis ini bahkan tanpa
dikatakan pun. Tapi Arik benci karna
mengetahui maksud ucapan gadis ini
barusan. Sekali ini saja, arik ingin dia
tidak mengerti arti ucapan Nara.
Sekali ini saja, Arik benci karna
mengetahui begitu banyak apa yang
dipikirkan Nara.
“Maaf? Untuk apa Ra?” tanya Arik
pura-pura bodoh.
“Aku bohong.. Waktu itu, aku tidak
sibuk, waktu itu.. Aku pergi ke
bioskop.” ucap Nara dengan suara
bergetar.
Hati arik seakan mencelos. Seakan
dipaksa keluar dari rongganya saat
melihat bulir air jatuh dari mata
Nara yang tengah menundukan
wajahnya dalam-dalam.
“Waktu itu, aku-”
“Hentikan-” potong Arik cepat, Ia
tidak ingin mendengar apa-apa lagi.
Satu kenyataan ini sudah terlalu
pahit, tidak perlu ditambah satu
kenyaataan yang lebih pahit lagi.
“Hentikan.. Ya, hentikan.” gumam
Nara. Arik hanya diam saja.
“Kak.. Kita hentikan saja. Ya?” suara
Nara terdengar semakin bergetar.
“Nara-”
“Kita sudah berhenti sampai disini”
kali ini Nara yang memotong
perkataan Arik.
Selama beberapa lama, hanya bunyi
garpu dan sendok yang berdenting
dari meja disamping mereka. Baik
Arik maupun Nara, sedang sibuk
menata hati dan pikiran mereka.
Terlebih arik yang berusaha mencerna
apa yang dimaksudkan Nara. Gadisnya.
“Kuharap.. Kamu gak menyesal..”
ucap arik akhirnya..
“tidak.. Tidak akan..” gumam Nara
pelan. Dengan pandangannya yang kabur
karna air mata yang menggenang, ia
samar-samar melihat Arik berjalan
keluar kafe.
‘Aku bohong lagi.. Aku menyesal, Kak,
aku menyesal bahkan sedetik setelah
aku mengatakannya. Aku menyesal..’
gumam Nara dalam tangis.

Girl’s Day – something lyric

image

image

[MinAh ] Don’t you look into my eyes
and lie again
I ‘m sick of being alone (Drop it)
[SoJin ] Heundeullineun pyojeong
maltue
Neon mwonga inneun deutae
[MinAh ] Ne mome bein natseon
hyanggie
Mwongae hollin deutae
[Hyeri ] Nae choge jjillinabwa
Heoreul jjireunikka neogsi naga
Apdwiga iraetda jeoraetda
[Yura ] Wae geureoni
[Hyeri ] Nae choge jjillinabwa
Heoreul jjireunikka neogsi naga
[SoJin ] Wae deolkeok geobina ison
nwa
[MinAh ] Nal sogijima
[SoJin ] Naman mollasseotdeon
Something
Bunmyeonghi neukkyeojyeo Must be
Something
[MinAh ] Woah
Ppeonhan neoui geojitmal
Geuman yeogikkajiman Nothing
It ’s Something
Stop it
No ~
[SoJin ] Heurin haneul sok geu
mujigae
Seulpi uneun Piano
[Yura ] Ne mome bein natseon
hyanggie
Mwongae hollindeutae
[Hyeri ] Nae choge jjillinabwa
Heoreul jjireunikka neogsi naga
Apdwiga iraetda jeoraetda
[Yura ] Wae geureoni
[Hyeri ] Nae choge jjillinabwa
Heoreul jjireunikka neogsi naga
[SoJin ] Wae deolkeok geobina ison
nwa
[MinAh ] Nal sogijima
[SoJin ] Naman mollasseotdeon
Something
Bunmyeonghi neukkyeojyeo Must be
Something
[MinAh ] Woah
Ppeonhan neoui geojitmal
Geuman yeogikkajiman Nothing
It ’s Something
Stop it
No ~
[Yura ] Sarangeul swipge
Eodeuryeogo hajima
Huhoe hajima
[Minah ] Sogigo
Yeojal tto ullineun
Neon yeogikkaji
Bye , bye , bye out
[SoJin ] Naman mollasseotdeon
Something ([ MinAh ] Oh~)
Bunmyeonghi neukkyeojyeo Must be
Something
[MinAh ] Woah
Ppeonhan neoui geojitmal
Geuman yeogikkajiman Nothing (Oh )
It ’s Something (Hey)
Stop it
No ~
Naega jun sarangi neon useuwonni
Naega jun sarangi jigyeowojyeonni
Ni apeseo boigi sirheo chamatdeon
nunmul
Naega jun sarangi neon useuwonni
Naega jun sarangi jigyeowojyeonni
Urin yeogikkajini
[MinAh ] Urin yeogikkajini

Translation

Don’t you look
Into my eyes and lie again
I’m sick of being alone
Your shaking face and words
Seems like something is up, A
strange
scent is all over your body. Seems
like
you’re possessed by something
Maybe you felt guilty at my guess, I
caught you off guard and you’re so
out
of it. Your story keeps changing here
and there, what’s wrong with you
Maybe you felt guilty at my guess, I
caught you off guard and you’re so
out
of it, Why, are you scared all of a
sudden?
Let go of my hand, don’t lie to me
I was the only one who didn’t know
about this something I clearly feel it,
must be something
Your obvious lies,
it’s over
Nothing,
it’s something,
stop it
That rainbow inside the gray skies
The sadly crying piano, A strange
scent
is all over your body, Seems like
you’re possessed by something
Maybe you felt guilty at my guess, I
caught you off guard and you’re so
out
of it. Your story keeps changing here
and there, what’s wrong with you
Maybe you felt guilty at my guess, I
caught you off guard and you’re so
out
of it, Why, are you scared all of a
sudden?
Let go of my hand, don’t lie to me
I was the only one who didn’t know
about this something I clearly feel it,
must be something
Your obvious lies,
it’s over
Nothing,
it’s something,
stop it
Don’t try to gain
love so easily
Don’t regret
You deceived and
made a girl cry
You’re only up till here
Bye bye bye out
I was the only one who didn’t know
about this something I clearly feel it,
must be something
Your obvious lies,
it’s over
Nothing,
it’s something,
stop it
Was the love I gave a joke to you?
Were you sick of the love I gave you?
I don’t want to show you
the tears I held back
Was the love I gave a joke to you?
Were you sick of the love I gave you?
Are we over?
Are we over?

Cr to the owner