Hujan semalam yang tak hentinya mengguyur atap rumahku akhirnya berakhir tepat dengan terbitnya matahari senin pagi ini. Aku melongok ke luar jendelaku. Tepat ke pot-pot bunga aster dan daun gelombang cinta yang berjejer rapi menghadap gazebo samping rumah.
Malas sekali rasanya harus bangun dari tempat tidurku. Apalagi harus mandi ditengah suhu sedingin ini. Kalau bisa, pasti aku sudah kembali merajut mimpi semalam tadi yang tak sempat kuselesaikan karena bunyi kokokkan si jago kesayangan ayahku keburu menginterupsi dengan suaranya yang lebih cetar dari suara weker yang kusetel maksimum.
Ah, ayam sialan!
Sayangnya aku tetap harus bangun dan pergi kesekolah.
Tapi kuputuskan untuk meng-skip mandi pagi saja untuk hari ini. Toh itu tidak wajib kan? Sebagai gantinya aku akan menyemprotkan minyak wangi Kakakku untuk menghalau bau iler di badanku.
Jalanan becek seakan sudah menjadi pemandangan rutin di musim hujan seperti ini. Dan hal itu adalah hal kesekian yang paling tidak kusukai. Sangat tidak kusukai. Penyebab sepatuku basah dan sebentar lagi pasti bau apak. Membuat kerja kerasku mencucinya tak berbekas sama sekali.
Dan seakan ketidaksukaanku akan genangan air itu belum cukup besar. Tepat saat aku akan berbelok di pertigaan menuju sekolahku, sebuah mobil avanza silver lecek melintas diatas genangan air itu yang tentu saja sukses membuat seragamku kuyup sama sekali.
“ARGGGGG SIALANNN WOIII TANGGUNG JAWAB WOYYYY!!!” teriakku penuh amarah lengkap dengan tanduk merah kecil sudah bertengger dikepalaku saat ini.
“WOIIII..” teriakku tak berguna sama sekali, karena si avanza tidak tahu aturan itu sudah menghilang ditelan jalanan.
“Dasar tidak tahu aturan.” Gerutuku tiadak ada habisnya.
“Sani sabar San sabar.” Ujar sebuah suara sukses membuatku terperanjat. Aku menoleh kebelakangku dan melihat seorang pemuda sepantaranku tengah menahan tawa gelinya.
“Eh hoi,” sapaku padanya, tak lupa dengan sebuah senyum lebar merekah di bibirku. Ternyata daritadi aku tidak berjalan di trotoar ini sendirian.
Dan aku senang sekali melihatnya disini. Walau tidak bisa membuat seragamku kembali kering, setidaknya kehadirannya bisa menghiburku dan menyusutkan tanduk merahku yang kian mencuat tinggi itu.
“Dewa, kok gak bilang-bilang kalau daritadi berjalan di belakangku??” gerutuku nampak seperti gadis kasamaran, lengkap dengan cengiran lebar yang selalu tergaris di wajah.
“Yah.. Habis kau sibuk sekali dengan rok sekolahmu, sih.” Dia mengagkat bahunya singkat, lalu meraih tas punggungnya dan meraih kain kecil berwarna putih, lantas menyerahkannya padaku.
“Gak bakal ngeringin bajumu sih, tapi lumayan lah gak akan kuyup banget bajumu.” Ujarnya saat aku meraih handuk kecil itu.
“Makasihh..” seruku girang. “Gak sekalian buatku ini handuknya?” tanyaku tak tahu diri. Bercanda sih, tapi ngarep banget.
“Yeyyy dikasih hati malah minta jantung.” Cibirnya sambil terawa kecil.
“Wah, kalau aku dikasih hatimu aku udah bersyukur lho, mana mana.” Seruku semakin menjadi. Persetan dengan image atau jual mahal sebagai seorang cewek. Aku adalah aku. Dan aku bukan orang yang sok jual mahal.
“Gak ah, ntar dijadiin bubur ati, lagi.” Dia meleletkan lidahnya.
“Ya gak akan lahhh.. masa barang kesayangan dijadiin bubur siih..” ujarku gemas.Terkadang merasa sekali kalau aku itu cewek pecicilan. Tapi prinsipku tetap menjadi yang utama; ‘fight for what i want’. Dan ini kuanggap sebagai usaha untuk mendapat yang kuinginkan. Dia.
Dia hanya terkikik geli.
Mungkin ini sangat anomali dan bahkan mustahil. Tapi beginilah kami, aku dan dia. Didunia ini, mungkin tidak akan kau temukan lagi seorang perempuan dan seorang lelaki malah jadi teman akrab seperti kami setelah sebuah penolakan cinta dramatis. Iya, sebulan lalu, aku memang baru saja menyatakan perasaanku padanya.
Hari itu, mendadak langit diatas sekolah kami begitu cerah dan menyengat. Membuat aku dan teman sekelasku yang sedang berada ditengah lapang untuk bermain basket merasa seperti dibakar hidup-hidup saja.
Saat itu, entah mendapat keberanian darimana, aku berpikir untuk menyatakan cinta.
Namanya Dewa, sama sepertiku dia juga baru kelas 10 yang baru saja selesai MOS. Sejak pertama melihatnya, aku memang belum tertarik. Tapi seolah sudah menjadi takdir, dia selalu ada saat aku mendapat hukuman karena lupa membawa sesuatu yang diperintah senior hingga akhirnya aku harus menggosok toilet. Dan dia selalu ada disana; sama-sama dihukum. Hanya saja dia duhukum karena tidak bisa bernyanyi.
Dewa, dia memang lelaki yang sangat kaku. Nyaris seperti bapak-bapak usia 40-an yang workaholic, atau dalam kasusnya studyholic. Tak heran dia mendapat peringkat nomor satu saat tes penerimaan siswa baru di SMA ini.
Tapi tidak, dia tidak kaku saat kau sudah mengenalnya lebih dekat. Dia menyenangkan. Tepatnya selalu bisa menyenangkan hatiku. Dia selalu bersedia membantu semua orang yang memang membutuhkannya. Dia juga membantuku mengangkat ember dan mengerjakan soal fisika saat aku diseret Bu Fidia kedepan kelas karena keasikan baca komik. Dia pahlawan di kelas kami. Sangat banyak gadis-gadis yang mengejarnya. Bahkan kakak kelas juga ikut mengantri.
Tapi hanya aku yang berani mengejarnya terang-terangan. Bahkan menyatakan cinta didepan khalayak banyak.
Dewa baru saja berhasil melakukan shoot three point. Semua orang berteriak. Semua gadis lebih tepatnya. Dan saat itulah aku merentangkan tanganku di udara, berdiri dari bangku penonton dan bersorak heboh,
“DEWAAAAAAAA AI LAP YUUUUU!!” teriakku lantang, dan menantang ingin disoraki. Dan benar saja, sedetik kemudian terdengar sorakan seluruh teman sekelasku yang ber ‘huuuuu’ ria kearahku. Sementara Dewa hanya mematung dengan kekakuannya yang biasa.
Saat kelas usai, aku menemuinya yang berjalan dibelakang murid lain.
“Hei,” sapaku malu-malu tapi tidak berhasil menyembunyikan kegiranganku.
“Ng.. ya?” tanyanya heran, kaku, dan kikuk.
“Jadi apa jawabanmu??” tanyaku tak tahu malu.
“Ng.. sori, San, tapi aku tidak bisa.” Jawabnya penuh sesal. Aku mengangguk mengerti.
“Iya gapapa, terus-terus?” aku meminta kelanjutan jawabannya dengan semangat.
“Terus apanya?” dia menatapku heran
“Yah.. aku udah terlanjur confess didepan orang-orang nih, malu juga kali.” Aku memukul pundaknya pelan.
“Sorry..” dia berujar tak kalah pelan dari suara tawon yang sedang terbang.
“Eh eh gapapa gapapa, jangan membebanimu ya pengakuanku barusan itu. Tapi kita masih bisa jadi temen kan? Maksudnya temen yang harap-harap cemas kapan kau akan menerimaku. Hehe..” candaku setengah serius. Bahkan sebenarnya sangat serius.
“Tentu.” Jawabnya sedikit rileks.
“Ngomong-ngomong maaf lho, aku bikin kamu sekaget tadi. Haha.. ya udah lah ya, yuk ke kelas bareng.” Ujarku sambil menarik ujung baju olahraganya.
Dan ya… aneh tapi nyata, setelah itu kami malah benar-benar menjadi teman. Dan walau ditolak, tapi aku sukses membuat gadis-gadis lain yang naksir Dewa iri padaku. Karena hanya aku yang bisa sukses mendekatinya, walau hanya sebagai teman yang harap-harap cemas. Tapi disekolah, tidak ada gadis lain yang bisa ngobrol nyaman, nyeleneh, bahkan aneh sepertiku dengan Dewa. Ah, kalau begini terus aku sungguh-sungguh harap-harap cemas, nih. Dewaaaa….
***
Suasana siang ini begitu mengaharu biru. Antara bahagia, bangga, dan haru. Semua murid yang baru saja menerima surat kelulusan berteriak, menangis, dan tertawa bersama. Termasuk juga aku.
Bangga dan bahagia begitu menyesakkan dadaku. Rasanya kehabisan nafas saja tidak bisa cukup menjelaskan bagaimana senangnya aku hari ini. Saat ini. Tapi ditengah kesenangan itu, tentu saja ada ketidaksenangan. Aku akan berpisah dengan teman-teman yang selama tiga tahun ini mengisi hari-hariku dengan berbagai macam rasa.
Termasuk Dewa. Kami akan berpisah. Benar-benar berpisah.
Sejak sebelum UN, bahkan Dewa sudah mengatakannya tiga bulan sebelumnya, bahwa dia akan meninggalkan kota ini untuk melanjutkan kuliah. Aku mengerti, dari dulu, cita-citanya memang masuk ke ITB jurusan astrofisika. Dan kini dia sudah sangat dekat dengan cita-citanya. Dia akan pindah ke kota Bandung. ratusan kilometer dari kota kami Yogyakarta.
Kalau menuruti ego sih, tentu saja aku akan menghadang. Bahkan sudah kupastikan aku akan tidur diatas rel kereta api yang akan membawanya jauh dariku.
Tapi tentu saja aku tidak melakukannya. Karena aku masih sangat menyukainya, bahkan kini cinta monyetku sudah menjelma menjadi cinta manusia dewasa. Tiga tahun bersama Dewa membuatku semakin tidak mau kehilangannya. Biarlah kami tetap menjadi teman yang harap-harap cemas. Yang penting dia disisiku.
Tapi, aku juga tahu kalau aku tidak boleh menghalangi Dewa dari masa depannya. Haruslah aku juga mencintai Dewa dan masa depannya kelak. Walau mungkin dimasa depannya itu tidak ada lagi aku sama sekali.
Dewa, baiklah, kuijinkan kau pergi kesana. Merajut masa depanmu yang cerah gemilang. Tapi jangan pernah lupakan kalau aku pernah ada dimasa lalumu. Iya aku, Sani. Teman harap-harap cemasmu.
“Hei…” seseorang meremas bahuku ketika sebutir air meluncur bebas dari mataku. Dan jatuh tepat disepatuku.
Dewa memandangku haru. Dia tentu sangat senang mendapat nilai UN paling baik di kota ini. atau bahka di negri ini. Semoga.
“Baru kali ini aku lihat kau nagis, San. Saking terharunya ya? Berterimakasihlah padaku yang rela bermalam-malam mengajarimu menjawab soal-soal latihan UN.” Candanya sambil meremas bahuku kian keras.
Andai dia tahu tangisku yang jarang ini bukan untuk kelulusanku melainkan untuknya.
“Makasih lho tutornya, Dewa Yuranata yang paling top markotoooppp.” Ucapku meladeni candaannya. Dia terkiki geli. Haahhh… kapan lagi kira-kira aku bisa menatap kikikanya, senyumannya, dan tawanya yang renyah itu?
“Tlaktir aku gudek mbo Katni ya?” pintanya menyebut salah satu penjual makanan di kantin kami.
Aku hanya mengangguk kecil.
“Sekarang ya? Aku lapar.” Dia mengusap perutnya perlahan. Lagi-lagi aku mengangguk. Dan kami pun menjauh dari kerumunan orang-orang penuh haru biru itu. Menuju sebuah kantin yang akan kami tinggalkan tak lama lagi.
05 Juni 2012
Dan hari ini pun tiba juga. Hari dimana aku dengan kakiku sendiri melepas Dewa pergi. Dewa-ku. Keluar kota yang sama sekali tidak kuketahui bagaimana wujudnya kecuali kalau kebetulan muncul di tivi.
Sore ini stasiun tugu padat oleh manusia yang akan meninggalkan kota Yogyakarta ke tempat tujuan masing-masing.
Dan disana jugalah aku dan Dewa berada. Duduk di bangku besi diantara ratusan orang lainnya yang menunggu kereta tujuan kota kembang Bandung.
Aku duduk bersandar di bahu Dewa. Sementara pemuda itu sibuk membalas Sms keluarganya yang berpesan ini itu. Mereka tidak mengantar Dewa Karena tepat hari ini juga adalah acara lamaran kakak tertua Dewa. Mas Yuda.
Aku sendiri juga sibuk. Sibuk mensugesti diriku sendiri kalau semuanya akan baik-baik saja. walau jauh, toh aku akan tetap menjadi temannya Dewa. Teman harap-harap cemasnya Dewa.
“Ah, San, keretanya datang.” Seru Dewa begitu mendengar bunyi sirineu yang sama sekali luput dari pendengaranku.
Spontan aku menegakkan tubuhku dan menoleh pada Dewa.
“Wah, ayo.” Aku berdiri dengan sebelah tangan menggenggam jaket parasit Dewa.
“Iya, bentaran aja, tunggu yang lain naik.” Seru Dewa yang malah menepuk bangku bekasku tadi, menyuruhku untuk kembali duduk.
Dengan heran, akhirnya kuturuti juga pemuda itu.
“San.” Panggilnya dengan suara yang sangat jarang sekali kudengar. Begitu serius dan amat pria.
“Hah apa?” tanyaku bingung.
“Aku akan sering kesini lho.” Ucapnya mencoba bercanda. Membuatku terpaksa harus tertawa.
“Iyalah, kan kau tetap warga negara Daerah Istimewa Yogyakarya ini.” cibirku bercanda seadanya.
Hening sesaat, sebelum akhirnya dia kembali berujar.
“Sani, kok kau bisa sih jatuh cinta sama orang macam aku.”
Aku menatapnya semakin heran, “hah maksudnya?” tanyaku penuh tanda tanya.
“Iya, orang kayak aku, pengecut, gak punya nyali.” Dia mengucapkan setiap suku katanya dengan bold kentara.
Aku hanya diam saja. Reaksiku kalau tidak mengerti ucapan lawan bicara.
“Ngungkapin perasaan aja gak bisa.” Kini dia melempar pandangannya.
“Jadi Sani,” dia kembali menatapku yang masih heran.
“Aku udah gak mau jadi teman harap-harap cemasmu lagi. Aku udah berubah pikiran. Dari dulu sebenarnya. Tapi aku tidak berani ngungkapin. Maaf ya..” dia mejelaskan. Aku terpaku, tapi dia tidak tahu kalau perkataannya barusan membuat detak jantunggu menggila layaknya atlit sepak bola.
“Sani?” dia melambaikan tangannya didepan wajahku.
“Jadi kita gimana nih?” akhirnya aku bisa menguasai diri.
“Ya gitu, entahlah, yang jelas, saat ini perasaan kita sama. Kecuali kalau kau sudah tidak menyukaiku lagi.” Dia menjawab dengan cemas.
“Bodoh, ya jelas tidak sama lagi lah, sudah semakin besar dan banyak tahu.” Aku memukul pundaknya.
Dia tersenyum haru, bahagia.
“Ya udah, kita LDR ya?” dia bertanya ragu, tampak malu. Rasanya aku sedang dihempaskan dari langit-langit gedung aula besar sekolahku saking tidak percaya. Berkecamuk hebat sekali pikiran dan perasaanku saat ini.
“Wa, boleh nangis dulu gak?” aku membekap mulutku dan mataku.
“Aku gak pernah liat kamu nangis, jadi aku sepertinya gak akan suka liat kamu nangis. Tapi kalau itu tangis bahagia.. boleh.” Dia mencoba menenangkanku yang sudah mulai terisak lembut.
“San, kereta aku udah mau berangkat lho, udahan dong nangisnya.” Pinta Dewa dengan memelas. Akhirnya aku menyusut wajah kuyuku dan berusaha tersenyum sebisanya.
“Kenapa kita harus LDRan sihhh.. kamu kuliah di UGM aja napa??” tanyaku berajuk. Untuk pertama kalinya merajuk sebagai seorang kekasih. Dari seorang Dewa. Dewa-ku.
“Tuh kan tuh kan, dikasih hati malah minta jantung.” Dewa mencibir. Lalu kami tertawa bersama. Tawa yang baru kali ini terasa menyesakkan. Bahagia karena aku bukan lagi teman harap-harap cemasnya. Tapi disaat bersamaan harus melepasnya menjauh dariku.
Tapi sungguh, aku tidak akan meminta jantungnya.
Aku juga tidak akan meminta atau menjegal masa depannya.
Karena, ssttt.. siapa tahu aku akan tetap dan selamanya akan ada dimasa depan Dewa.
Semoga.