Wedding dress

Qeean melangkah dengan ragu. Ia remas pinggiran dress putih yang dikenakannya.
‘Fuhh. There is no way back.’
Gadis berlesung pipit ini sengaja datang dengan jam dimolorkan. Semolor-molornya. Tapi upacara pernikahannya ternyata juga ikut molor.

Mary yang pernah menjadi modelnya dulu saat di paris, tentu saja mengundang Qeean ke pesta pernikahannya. Tapi bukan itu yang membuat Qeean gamang. Melainkan dengan siapa Mary akan menikah.

Selangkah demi selangkah Qeean memasuki tempat acara. Dan akhirnya sampailah ia disana.

Matanya menatap lurus pada sepasang pengantin yang terlihat begitu serasinya.
Mereka terkikik geli satu sama lain. Entah siapa yang membuat lelucon. Mary mungkin?
Ujung-ujung bibir Qeean tertarik keatas. Bersamaan dengan meluncurnya sebulir air mata dihatinya. Perih.

Dalam hati Qeean sibuk merangkai kumpulan ‘Bagaimana jika’.
Bagaimana jika, kita tidak berpisah?
Bagaimana jika, aku bertahan disampingmu??
Bagaimana jika, kau memutuskan pergi ke paris denganku?
Bagaimana jika, 10 tahun lalu, aku tidak mengatakan hal terkutuk itu? ‘Fuck you Bri! Kau bahkan tidak bisa memilih mimpimu dibanding keinginan keluargamu! Bagaimana denganku?? Aku tidak mau terkurung dalam keluarga ketatmu itu! I do have dreams’

What if… i am your bride?

Qeean hanyut dalam khayalannya, dalam masa lalunya yang indah bersama Brian. Dalam cintanya yang selalu jatuh pada Brian.
Pada akhirnya, dialah yang gagal meraih impiannya.
Impiannya untuk memakai Gaun desainnya sendiri untuk pernikahannya dengan Brian.

Qeean meledak dalam tawa. Getir. Setidaknya, memang dialah yang mendesain pakaian pernikahan Brian. Dengan wanita lain.

Qeean kembali menatap pelaminan. Dimana sang pengantin pria juga menoleh padanya. Dengan tuxedo indah rangkaian mimpi Qeean. Yang karam.

*

2 minggu yang lalu

Langit sore membayangi wajah Brian saat ia membaca papan nama butik dihadapannya.
Ia pun membuka pintu berlapis kayu hitam etnik setelah sebelumnya membunyikan lonceng didepan pintu.
‘Ok so it is a vintage wedding dress boutique? So not you, mary.’

“Permisi.” Sapanya dengan mata menjelajahi ruangan penuh gaun putih indah menutupi dinding.
“Ah, i think he was just arrived by now Mary. Ok see ya.”
Terdengar suara seorang wanita yang disusul bunyi gagang telfon disimpan ke tempurungnya.
“Selamat datang,” ucap wanita itu dengan suara ramah, kini lengkap dengan perwujudannya yang menyembul dibalik tumpukan dus putih berisi gaun-gaun yang telah dipesan.
Pupil mata Qeean membesar demi melihat seraup wajah tampan dihadapannya. Bahu bidang dilapisi sweter tipis pas badan, dan tubuh tinggi tegap yang membuatnya sempurna. Bagai dewa. Sungguh mampu membuat seseorang jatuh cinta. Bahkan untuk kali kedua.

Kedua orang itu bertatapan sepersekian detik yang terasa canggung dan lama.
“Brian?”
“Qeean?”
Keduanya saling melempar keheranan.
“Hei, lama tak jumpa. Tentu saja, haha, harusnya kau di Paris, kan?” Brian mendekat ke meja penuh tumpukan kardus itu.
“Well, aku kembali setelah bosan kerja disana. Enam bulan lalu buka bisnis baru disini, kecil-kecilan sih.” Qeean menjawab santai.
“No no, ini bukan bisnis kecil, i’ve heard about Qee And fashion from someone to someone. Though i never know this so called famous boutique is yours, but i always knew you would become this great designer.” Brian kembali mengagumi sekelilingnya.
Qeean hanya tersenyum simpul mendengar pujian itu.
“Dan itukah yang membawamu kemari?? So you decided to buy a wedding dress from me?” Qeean bertanya dengan senyumnya yang masih melengkung.
“Sort of.” Brian menggerakan kepalanya ke kiri dan ke kanan dengan bibir terlipat rapat.
“Ah tentu, Mary brought you here. She’s.. Your… bride to be, right?” Ada keraguan dalam suara Qeean. Juga ada kegetiran didalamnya.
“Yup.”
“Ng ok, kau disini untuk fitting baju kan? Mary telah memilihkan satu untukmu.” Qeean memberi gestur agar Brian mengikutinya. Lelaki itu pun menurut.

Qeean mengetukan kakinya ke lantai kayu sembari menunggu Brian mencoba pakaiannya. Sebuah tuxedo hitam necis dengan kemeja dalam biru tua mengilat.
Sret
Brian membuka gorden fitting roomnya. Qeean mendongak.
“How?” Brian bertanya tak yakin, keningnya berkerut dalam.
“Looks nice. Very nice.” Qeean mengacungkan jempolnya ke udara. Sepertinya tidak akan ada yang memakai tuxedo itu sebaik Brian.
“Thanks to you.” Brian membungkuk sebagai ucapan terimakasih. Qeean tertawa renyah.
“Thanks to Mary, she has a great taste, she choose my fave. She saved you.”
Brian ikut tertawa kecil sambil mengangguk. “Yes right.”
Qeean mendekat untuk merapikan lipatan-lipatan tuxedo tersebut. Juga mengukur ketepatan ukurannya.
“Kurasa bagian perutnya terlalu longgar. Give me days to repair it.” Info Qeean sambil mengagguk-angguk.
“Ok, take your time. Mmm.. Should i give it back to you now?”
“Sure.”

Qeean melambai kecil melepas brian pergi.
Lalu beberapa menit ia habiskan sekedar untuk merenung dan menatap pintu dimana tadi Brian membalikan punggung dan pergi.
Gadis itu menghela nafas panjang. Lalu memutuskan untuk kembali mengerjakan desain baru. Lembur sekalian.

Malam menjelang, Qeean bersiap untuk pulang.
Sayangnya begitu ia membuka pintu, hujan deras menyambutnya dan menghentikan langkahnya.
“Great!” cecar gadis itu menghela nafas. Pandangannya beralih ke sebuah coffee shop yang berdiri disamping butiknya, dia putuskan untuk menunggu hujan reda disana. Tidak mungkin dia hujan-hujanan ke rumahnya yang berjarak 400 meter dari sana tanpa payung yang lupa ia bawa, kan?

“Qeean!” panggil seseorang begitu gadis itu masuk ke dalam. Qeean tersenyum ragu.

“Bertemu klien.” Jelas Brian singkat.
“Bisnis seperti ini bukan hal yang menarik ya. Hanya pergi kesana kemari untuk menandatangani legal investment perusahaan keluarga.” Brian mengangkat sebelah bibirnya. Wajahnya sarat akan ketidakpuasan.
“Aku iri.” Brian menatap Qeean iri juga bangga. Qeean tersenyum kecil dengan matanya yang membentuk bulan sabit.
“Setidaknya, setelah 10 tahun. Harus benar-benar ada yang meraih mimpi kan?”
‘Karena kau dan aku sudah memilih. Aku memilih memberontak dan pergi ke paris. Kau memilih tinggal dan menuruti keluarga.’ lanjut Qeean dalam hati.
“Ya. Ya. Kau benar. Aku senang kaulah yang akhirnya menang. Aku tahu seberapa besar keinginanmu untuk tetap mendesain baju pengantin.” Ucap Brian sungguh-sungguh.
Qeean menyesap kopinya dalam diam. Merasakan uap panas menyentuh bibirnya lalu menjalari tenggorokannya yang kering keronta.
“Hujannya sudah reda.” Ucap Qeean seraya meletakan cangkirnya.
“Ah ya.” Brian memandang jauh ke luar jendela.
“Kuantar?” Tawar Brian. Hanya dijawab goyangan kepala oleh Qeean.

*

Qeean sibuk melayani seorang gadis kaya yang memaksa agar Qeean memberikan sebuah gaun pastel yang telah dipesan orang lain.
“Tidak bisa Nona, gaun ini sudah fix ada yang punya.” Qeean berusaha agar suaranya tidak meninggi menghadapi gadis congkak ini.
“Aku akan bayar dua kali lipat.” Gadis itu mendengus keukeuh.
“Fine, i will make another dress dengan desain persis. Bagaimana?”
Walau enggan, gadis itu akhirnya mengangguk lalu merangsek pergi.
Tepat saat itulah Qeean menyadari ada tamu lain yang lekat memperhatikan.
“Sorry, lama nunggu ya?” Tanya Qeean bersalah.
“No no. Its okay. Aku yang harusnya minta maaf, its 6 pm.” Brian menenangkan.

“You know, you changed a lot. Tambah sabar ya sekarang. Qeean yang dulu kukenal pasti sudah marah-marah dan mengusir tamu tadi.” Brian terkekeh sendiri. Qeean tidak tahan untuk tidak ikut terkekeh.
“So you too. Kalau 10 tahun lalu, kau pasti sudah mengibarkan sayap supermen dan meleraiku dengan gadis tadi yang mungkin sudah adu jotos.”
“Haha tepat.”
“Hhmm.. Time flies, yah.” Qeean merenung.
“Tidak untukku.” Respon Brian tak disangka, matanya menatap Qeean lembut dan dalam. Meninggalkan lubang penasaran besar di hati Qeean.
“Mm… Yuk fitting baju.” Qeean melepaskan tatapan itu.

“Hell yeah, its perfect!” Qeean menatap keseluruhan penampilan Brian. Dia merapikan bagian bahu brian. Membuat semerbak wangi sitrus tercium indra Qeean. Sukses membuat gadis itu melayang walau sejenak. Ia segera menjauh.
“Akan kukirim paket wedding dress ini besok. Sekalian dengan milik Mary. She dont want you to see her in her dress before the day.”
“Tipically girls.” komentar Brian.
“Yeah. We like surprise.” Timpa Qeean, “well, its time to close.”
“Ah ya, diluar hujan.” Brian memberi tahu. “I bet you didnt bring your umbrella.” Ia menaikan sebelah alisnya.
“Ehaha.. You know me.”
“Kuantar pulang. Kau tidak boleh menolak. Cause it maybe the last.” Brian tersenyum kecil. Nyaris tak terlihat.
Qeean balas tersenyum. Selebar mungkin. So he will not see the hole he just made deep in her heart.
“Macet parah dijalan depan rumahku. Tidak akan bisa sampai dalam setahun dengan mobil.”
“Then we will walk.”

*

Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Hingga akhirnya Brian putuskan membuka suara. Walau itu adalah topik yang seharusnya tidak dia bahas kalau tidak mau goyah. Tapi dia hanya ingin semuanya terselesaikan.

“Aku mencarimu. Setelah pertengkaran kita, aku mencarimu.” Ucap Brian.
Qeean hanya bisa terdiam.
“Tapi tak cukup sanggup untuk menahanmu untuk tetap disisiku. Kau inginkan kebebasan. Yang tak bisa kuberikan karena keluargaku. Terlalu banyak yang harus kau korbankan hanya untuk bersamaku.” Lanjut Brian, nanar.
Qeean terpaku. Otaknya sulit dipaksa berpikir untuk menemukan jawaban yang pas. Karena semuanya terasa salah dihati gadis itu. Hati yang kembali berdebar hanya karena melihat wajahnya saja. Wajah yang dulu bahkan tidak pernah membuatnya tertarik. Terhalang oleh kacamata tebal seorang calon ahli fisika, yang mungkin sudah ia tanggalkan sepuluh tahun lalu. Saat pria itu putuskan untuk menurut dan belajar bisnis di keluarganya.
Tapi sama seperti Brian, Qeean pun menginginkan penyelesaian. Hingga memaksanya ikut menggungkap rahasia.
“Aku juga menunggumu. Duduk di kursi tunggu bandara. Berharap seseorang akan datang dan memutuskan pergi denganku” Aku Qeean.
“Fuhh..” dihelanya nafas panjang-panjang, lalu dengan senyum dipaksakan dia melanjutkan, “But maybe, just maybe, this is the best way for us. We have come this far. Kita hanya harus melanjutkan jalur yang sedang kita tempuh. Pertemuan ini, hanyalah kebetulah karena jalur kita yang saling melintasi satu sama lain. Sebelum akhirnya saling menjauh menuju tujuan masing-masing.” Qeean memaksa dirinya untuk bertahan. Tak ada air mata yang boleh lolos dari pertahanannya.
“Yeah.. Maybe.. Maybe we better off like this.” Tuntas Brian.
Keduanya menghentikan langkah.
“You can go now. That was my house.” Seru Qeean menunjuk sebuah rumah bercat krem.
“Ok.. Goodbye..”
Qeean menahan nafas sekuat tenaga.
“Good… Bye…”
Terdengar suara langkah kaki menjauh. Lambat laun semakin samar dan akhirnya tak terdengar.
Qeean melangkahkan kaki dengan gontai, ditemani guyurab hujan ringan diatas kepalanya. Menuju sebuah rumah yang masih 200 meter jauhnya dari sana.

——-

Unconditional love, is it exist??

There is no such an unconditional love in this world. You lied if you say you want nothing from peoples you loved. Whether it is your parent, family or friends. Cz you knew you once, or maybe often, disappointed to those peoples. Cz There will no such disappointment if there is no desire or hope. So at least, you will definetly want a thing from them, you want them, to not hurt you, to not leave you, to not turn their back from you…
Thats my thought. How bout you??

Musuhku

“Kau tahu?? Aku menyukaimu..” ucapnya kala itu. Aku hanya bisa menganga tak sangka.

Aku hanya bisa membisu.

“Kau tak perlu menjawab, aku tahu kau bingung. Kita sudah sekian lama saling mengenal. Dan selama itu pula saling bertengkar. Mungkin ini terdengar klasik bahkan klise, tapi memang benar, aku menyukaimu justru karena pertengkaran-pertengkaran kita. Itu saja yang ingin kukatakan.”

Bibirku serasa terkunci rapat. Lebih dari itu, memang benar aku bingung. Dia yang selama ini kukira membenciku, ternyata menyukaiku.

“Na… Aku sayang kamu. Maaf aku baru punya keberanian sekarang. Aku sayang kamu.”
Tangannya menyentuh pundakku lembut. lalu beralih kewajahku. Dia mengusap pipiku sayang. Rasanya sentuhan itu begitu nyata dan jantungku sakit dibuatnya.

Dia yang selama ini selalu bertengkar denganku. Dia yang selama ini kukira membenciku.
Dia… Yang selama ini coba kulupakan karena kukira membenciku..

“Rendi, udah yuk kita keluar… Nadia udah mau dimandikan.” Seseorang datang dan menarik lengannya dari wajahku. Lalu pergi meninggalkanku dengan jasadku.

Teman terbaik

Kau pernah bilang padaku, bahwa aku adalah teman terbaik yang kau punya. Aku adalah refleksi dari seorang teman yang paling sempurna.

Kadang aku bertanya-tanya, bagaimana jadinya kalau aku bilang bahwa aku bukan teman yang baik? Bahwa aku hanyalah orang yang sedang jatuh cinta?

Iya, jatuh cinta, padamu teman sepermainanku.
Bukan sejak awal aku menyadari perasaanku. Karena memang bukan sejak awal aku menyukaimu.

Aku menyukaimu melalui waktu. Melalui hari-hari yang kita lewati bersama. Melalui jalan-jalan setapak sawah yang kita pijak berdua.

Dan kuputuskan aku juga akan menyukaimu melalui diamku. Melalui doaku yang kupanjat kala sedang solat. Melalui sikapku yang akan selalu menopangmu.

Mungkin memang tidak lebih dari seorang pengecut aku dimataku sendiri. Hanya bisa mengagumimu dalam bisu.

Karena sebuah patenmu yang membuat bibirku kelu.
“Kau sahabat terbaiku.”
Begitu ucapmu.
Aku hanya bisa terpaku dan mengumbar senyum ambigu
Sendu